Jumat, 03 Oktober 2008

SINDROMA EKSTRAPIRAMIDAL

SINDROMA EKSTRAPIRAMIDAL

Gangguan gerakan akibat lesi di berbagai komponen susunan ekstrapiramidal dapat dikelompokkan dalam 3 golongan, yaitu:
1.Sindroma striatal
2.sindroma retikularis batang otak
3.sindroma batang otak
Lesi di bagian striatum dapat dijumpai pada nukleus lentiformis atau pada nukleus kaudatus. Walaupun demikian apa yang disebut sindroma striatal adalah gambaran penyakit yang timbul akibat lesi di salah satu mata rantai lintasan liingkaran.
Inti-inti yang ikut menyusun susunan ekstrapiramidal mempunyai tugas masing-masing, yang dalam keseluruhan bertindak sebagai susunan tunggal yang mengatur dan menggalakkan gerakan sekutu atau gerakan pembenah gerakan voluntar. Lesi yang merusak salah satu onti atau jaras yang menghubungkan inti-inti tertentu dapat bersifat paralitik atau release. Lesi paralitik menimbulkan gejala negatif. Lesi yang bersifat release berarti bahwa lesi itu merusak suatu inti yang bertugas mengadakan kelola terhadap inti lain. Suatu inti yang bekerja di bawah inti atasannya tidak akan lumpuh, melainkan mengeluarkan akivitas yang tidak lagi terkelola oleh inti atasannya. Aktivitas ini menimbulkan gejala release yang bersifat positif, yaitu gerakan involunter. Subtantia retikularis batang otak dapat di anggap sebagai lintasan terakhir yang menyalurkan impuls ekstrapiramidal untuk motoneuron. Oleh karena itu, lesi di substantia retikularis berimplikasi juga bahwa aktivitas impuls ekstrapiramidal yang mencakup fungsi korpus striatum tidak dapat disampaikan kepada motoneuron. Hilangnya aktivitas tersebut menimbulkan gejala negatif.
Gejala negatif susunan ekstrapiramidal adalah gejala akibat hilangnya fungsi suatu komponen susunan ekstrapiramidal. Gejala tersebut dapat berupa kelambanan atau hilangnya kegesitan gerakan volunter, hilangnya gerakan sekutu yang membenahi suatu corak gerakan voluntar dan kelainan tonus otot.
Setiap lesi di susunan ekstrapiramidal hampir selalu berarti hilangnya fungsi komponen yang terusak oleh lesi. Akan tetapi kerusakan tersebut menghilangkan juga suatu aktifitas pengelola terhadap inti di sirkuit lingkaran yang bersangkutan, yang berarti lesi tersebut membangkitkan juga gejala release. Jadi lesi di salah satu mata rantai lintasan ekstrapiramidal hampir selamanya membangkitkan sindroma yang terdiri dari gejala positif dan negatif secara berbauran. Yang mencirikan sindroma ekstrapiramidal ialah bahwa gerakan otot skeletal yang bangkit akibat lesi di susunan dapat berupa gerakan involuntar dan gangguan gerakan voluntar yang tidak memperlihatkan tanda kelemahan otot, tidak disertai hiperrefleksia dan refleks patologis, tidak diiringi oleh kelemahan otot dan sering disertai oleh gangguan fungsi susunan saraf otonom.
Secara subyektif penderita dapat menyajikan keluhan yang dapat disalah tafsirkan sebagai paresis, oleh karena keluhannya adalah sukar berjalan karena kakinya berat, tidak bisa bangun sendiri, tidak dapat mengangkat sendok makan, tidak bisa berpakaian sendiri, dan lainnya. Tetapi pernyataan tersebut diucapkan bukan karena kelemahan tanaga otot, akan tetapi karena kelambanan dan kedunguan gerak otot sangat menggangggu gerakan volunter.
a.Sindroma striatal
Ada 2 macam manifestasi sindroma ekstrapiramidal:
Gangguan involunter
Dahulu gerakan involunter akibat lesi di salah satu komponen lintasan lingkaran dikenal sebagai hiperkinesia. Tercakup dalm gerakan involuntar ini adalh termor, khorea, atetosis, distonia dan balismus.
Tremor akibat lesi di korpus striatum berbeda dengan tremor yang di hasilkan oleh lesi serebelar. Perbedaan utamanya ialah bahwa tremor striatal bersifat involuntar mutlak, oleh karena timbulnya sewaktu anggota gerak beristirahat yang bisa disebut tremor istirahat. Sebaliknya tremor serebelar adalah tremor sewaktu anggota gerak melakukan gerakan volunter atau tremor serebelar bangkit pada waktu gerakan voluntar hampir selesai, sehingga tremor serebelar dikenal sebagai tremor kinetik atau tremor terminal. Gerakan involuntar lain yang tersebut di atas merupakan manifrestasi khas dari lesi di salah satu komponen lintasan lingkaran, yang tidak dijumpai pada lesi serebelar.
Gerakan volunter yang terganggu
Terganggunya gerakan volunter terjadi karena:
1.Adanya hipertoni yang menyeluruh.
Pada spastisitas yang bangkit akibat lesi di susunan piramidal, hipertoni terdapat pada sekelompok otot tertentu yang paretik atau paralitik, sehingga menimbulkan pola tertentu, misalnya mengepal dapat dilakukan dengan lancar, tetapi membuka jari-jari adalah sukar karena spastik. Hipertonia karena lesi di susunan ekstrapiramidal melibatkan semua otot skeletal, baik otot flexor, maupun abdukator dan adukator.
Hipertoni akibat gangguan ekstrapiramidal menunjukan perbedaan juga. Pada spastisitas akibat gangguan piramidal terdapat tonus otot yang meningkat secara sinambung selama anggota gerak digerakkan. Hipertoni otot akibat gangguan ekstrapiramidal hilang timbul secara berselingan sewaktu gerakan pasif anggota gerak dilakukan. Maka hipertoni ekstrapiramidal ini dinamakan rigiditas.
2.Hipokinesia
Gerakan volunter yang serba lamban dinamakan hipokinesia. Bilamana gerakan voluntar dimulainya lambat dan gerakan berikutnya juga lamban, maka gejala ini dinamakan bradikinesia. Apabila gerakan voluntar tidak dapat dimulai tanpa ada gejala kelumpuhan dinamakan akinesia. Tahunya bahwa tidak ada kelumpuhan dapat didemonstrassikan dengan kemampuan untuk melakukan gerakan atas perintah. Pada penderita parkinson seringkali didapati gerakan atas kemauan sendiri yang macet tapi gerakan yang diperintahkan dokter dapat dilaksanakan.
3.Hilangnya ketangkasan dalam gerakan volunter
Bilamana gerakan voluntar masih dapat dilaksanakan, walaupunsifatnya ialah bradikinesia, corak gerakan voluntar ini tidak saja tidak gesit tetapi dicirikan oleh gerakan yang putus-putus, baik oleh karena adanya gerakan involuntar yang mengganggunya, maupun oleh hilangnya keluwesann gerakan secara primer.
4.Hilangnya gerakan sekutu atau hilangnya gerakan pembenah gerakan volunter.
Gerakan sekutu waktu berjalan menjamin kemampuan untuk setiap saat menghentikan atau menghambat laju gerakan berjalan. Pada hilangnya gerakan sekutu kemampuan itu hilang, sehingga perjalannan sukar dihentikan. Fenomena ini dinamakan propulsi jika laju berjalan tidak dapat dihentikan, bahkan maju terus sebagai akibat hilangnya kemampuan untuk menghambat dan menghentikan gerakan berjalan. Retropulsi adalah fenomena di mana pasien terus mundur kalau didorong ke belakang oleh karena tidak ada kemampuan untuk menghentikan dan mengahambat gerakan berjalan.lateropulsi adalh istilah untuk fenomena yang serupa di mana pasien terus berjalan ke samping.
Gerakan sekutu dapat berupa lenggang kedua tangan sewaktu berjalan atau gerakan otot wajah yang berupa senyum lebar sewaktu bertepuk-tepuk tangan. Gerakan sekutu tersebut dan lain-lain tidak berpartisipasi dengan gerakan volunter apapun. Karenanya gerakan volunter yang masih dapat dilakukan memperlihatkan kedunguan dan kejanggalan.

b.Sindroma substantia retikularis
Subtantia retikularis batang oatk merupakan daerah tegmentum medula oblongata, pons dan mesensefalon yang tidak menunjukkan pengelompokan serabut-serabut atau neuron-neuron. Di situ neuron-neuron serta juluran-juluran mereka tersebar secara difus, sehingga tidak memperlihatkan daerah-daerah yang mempunyai batas kawasan. Walaupun demikian, secara elektrofisiologik dapat disimpulkan adanya lintasan asendens dan desendens multisinaptik. Lintasan desendens multisinaptik itu menyalurkan impuls ekstrapiramidal ke interneuron medula spinalis. Dalm hubungan ini, maka lintasan desendens multisinaptik retikulospinal itu dapat diikuti terus sepanjang medula spinalis.
Lesi yang secara selektif merusak lintasan retikulospinal iitu dapat dijumpai pada keadaan hipoksi-iskhemia intrauterin, sehingga bayi yang dilahirkan memperlihatkan manifestasi hilangnya fungsi lintasan desendens multisinaptik tersebut. Manifestasi itu terutama terdiri dari spastisitas.
Lesi di substantia retikularis batang otak sering melibatkan daerah batang otak sependarahannya atau daerah yang berdampingan, sehingga sindroma retikularis batang otak seringkali terdiri dari kombinasi sindroma piramidalis dan ekstrapiramidal yang dilengkapi oleh manifestassi gangguan saraf otak. Sindroma-sindroma tersebut dikenal dengan sindroma Benekit dan sindroma Foville.
c.Sindroma serebelaris
Serebelum merupakan komponen susunan ekstrapiramidal yang mempunyai peranan dalam lintasan sirkuit pertama. Di samping itu serebelum menerima impuls-impuls proprioseptif dari otot-otot, tendon-tendon dan selaput sendi. Impuls proprioseptif itu dicetuskan selama suatu gerkan sedang berlangsung. Peranan serebelum sebelum sebagai organ yang menerima pewartaan tentang posisi bagian tubuh yang sedang bergerak, adalh mengintegrasikan impuls proprioseptif di dalam perencanaan pola gerakan yang kemudian akan dibangkitkan. Karena pengintegrasian tersebut,maka gerakan yang kompleks dan tangkas tidak bersimpangsiur. Hilangnya faktor pengintegrasian tersebut menimbulkan kekacauan pada gerakan yang dinamakan gerakan diskoordinatif. Karena hilangnya koordianasi, maka pola gerakan tangkas berantakan, sehingga gerakan yang timbul dikenal sebagai dekomposis gerakan.
Gerakan involunter
Karena gangguan serebelar, dapat dijumpai 3 jenis gerakan involunter, yaitu tremor, nistagmus dan cerbellar fit. Tremor sebagai manifestasi gangguan serebelar bersifat kinetik atau intensional, yaitu tremor yang tampak lebih jelas pada waktu gerakan volunter berlangsung. Tetapi tremor serebelar bisa juga bersifat terminal yang tampak lebih jelas ketika suatu gerakan involunter berakhir. Bahwa tremor rehat kadasng-kadang dapat dijumpai pada lesi di serebelum. Penjelasan mengenai mekanisme yang mendasari perincian klinis tentang tremor belum dapat diberikan secara memuaskan. Mungkin sekali tremor terjadi sebagi hasil usaha korektif terhadap gerakan diskoordinatif yang di namakan ataksia.
Nistagmus sebagai manifestasi gangguan serebelar sebenarnya kurang tepat, oleh karenanistagmus ini hanya bangkit bilamana bagian bellakang vermis serebeli mendapat kerusakan.
Gerakan voluntar yang terganggu
1.Gangguan tonus otot
Tonus otot menurun secara menyeluruh pada gangguan serebellar. Otot-otot menjadi kendor, sehingga sikap tubuh dan anggota gerak dapat difleksikan secara berlebihan di berbagai persendian. Sikap tersebut dikenal sebagai sikap hipotonik. Keadaan hipotonia ini masih dikenal dengan istilah kuno sebagai astenia. Menurut definisi astenia ialah kelemasan otot untuk memelihara suatu posisi (sikap). Gejala ini tidak boleh disamakan dengan kelumpuhan. Kelumpuhan atau paresis/paralisis, tenaga otot yang berkurang atau hilang dan secara subyektif pun dirasakan sebagai kurang tenaga. Sebaliknya pada astenia, secara obyektif (pemeriksa) tenaga otot tidak berkurang, tetapi secara subyektif dinyatakan bahwa ototnya lemah atau kurang bertenaga. Sebagai akibat dari menurunnya tonus otot, maka refleks tendon memperlihatkan sifat pendular. Ini berarti bahwa gerakan ekstensi sebagai gerakan reflektorik akibat ketukan pada tendon patela, tidak berhenti setelah tungkai kembali pada posisi semula, melainkan akan tetap bergoyang-goyang seperti bandul lonceng yang berayun-ayun.
Karena hipotoni otot juga, maka refleks tendon lebih condong untuk menurun daripada meningkat.
2.Ataksia
Ataksia mencakup semua jenis gerakan diskoordinatif. Bila gerakan tersebut tampak lebih jelas pada lengan daripada tungkai, maka atakasia itu dinamakan ’limb ataxia’. Sebagai perincian dari ’limb ataxia’ ialah dismetria yang berarti salah mengukur. Jangkauan gerakan voluntar dapat terlampau pendek (hipometria) atau pun terlampau jauh (hipermetria) dari tujuannya. Pada pemeriksaan dapat terlihat, bahwa jari telunjuk yang harus menyentuh ujung hidung akan menyentuh atau menerjang bibir (hipometria) atau mata (hipermetria). Fenomen dimana jangkauan gerakan voluntar selalu melampaui tujuan dapat dinamakan fenomen ’past pointing’.
Bila kesimpangsiuran gerakan tampak pada waktu berjalan, maka gejala itu dikenal sebagai ’gait ataxia’. Dan bila tubuh tidak bisa diam secara mantap pada waktu duduk tanpa sandaran, gejala ini pun tergolong pada ataksia, yaitu ’truncal ataxia’. Pada hakekatnya disartria, yaitu gangguan berbicara dalam soal artikulasi yang akan dibahas di bawah ini, adalah manifestasi ataksia juga.
3.Disartria
Bilamana koordinasi antara gerakan otot-otot pernafasan, otot-otot pita suara dan lidah hilang, maka pengucapan kata-kata dan kalimat terganggu. Artikulasi kata-kata menjadi kurang terang, nada dan irama pembicaraan menunjukkan sifat ’stakato’ dan ’monoton’. Gejala ini dikenal sebagai disartria.
4.Gangguan sikap tubuh
Sikap tubuh dihasilkan oleh gerakan otot-otot tertentu untuk memungkinkan suatu corak gerakan voluntar terlaksana secara tangkas dan luwes. Karena lesi serebelar timbul gangguan sikap tubuh, terutama mengenai sikap kepala, leher dan bahu terhadap sikap badan. Karena lesi unilateral di serebelum sikap kepala dan badan menyimpang ke arah lesi dengan ’limb ataxia’ pada lengan yang dihadapinya. Kedua lengan yang diluruskan akan mengambil posisi yang menyimpang ke arah lesi. Pada waktu berdiri tubuh cenderung untuk jatuh ke arah lesi atau ’bersandar pada sisi lesi’.
5.Dekomposisi gerakan voluntar
Gerakan tangkas tampak berantakan (dekomposisi) apabila gerakan tangkas yang agak kompleks dilakukan, misalnya membolak-balikkan tangan berulang-ulang dengan kecepatan yang meningkat. Tangan dipronasikan dan disupinasikan secara berselingan menurut irama yang pelahan, kemudian semakin dipercepat untuk pelahan lagi seperti semula. Karena gangguan serebelar akan dijumpai kecanggungan untuk melakukan gerakan tersebut, dimana gerakan pronasi terputus setengah jalan atau gerakan supinasinya yang terputus setengah jalan, sehingga gerakan tersebut dapat dinyatakan kehilangan komposisinya.
Gerakan kompleks yang dilukis di atas dikenal sebagai diadokhokinesia dan terganggunya gerakan tersebut dinamakan disdiadokhokinesia atau adiadokhokinesia.
Sindroma serebelaris dapat dibagi dalam 3 sub-sindroma oleh karena manifestasi sindroma serebelaris yang tersebut di atas menunjukkan pengelompokkan tertentu.
Adapun ketiga sub-sindroma serebelaris itu ialah
(1) Sindroma vermis bagian depan,
(2) Sindroma vermis bagian belakang dan
(3) Sindroma hemisferium serebeli.
Sindroma Vermis Bagian Depan
Vermis bagian depan merupakan daerah proyeksi jaras spinoserebelar yang terutama menyalurkan impuls propioseptif dari tungkai. Sedangkan impuls propioseptif dari tubuh bagian atas diproyeksikan kepada daerah paramedian dari hemisferium serebeli bagian depan. Pada kerusakan yang hanya terbatas pada vermis bagian depan, maka akan dijumpai ataksia pada kedua tungkai, yang akan diperjelas pada waktu berjalan. Oleh karena itu, ataksia tersebut dinamakan ’ataxia gait’ atau ataksia berjalan. Dalam hal tersebut lengan tidak jelas menunjukkan ataksia.
Cara melangkahkan kaki ke depan memperlihatkan tremor dan dismetria. Sebagai gerakan korektif terhadap itu, maka kedua kaki ditelapakkan jauh satu dengan yang lain. Berjalan dengan ’ basis yang lebar’ ini diiringi oleh adanya kekakuan bukannya hipotonik. Ini disebabkan oleh karena hubungan antara inti vestibularis dan vermis tidak terputus. Pada lesi bagian belakang vermis terdpat hipotoni yang jelas.
Kecenderungan untuk jatuh akibat diskoordinasi gerak jalan ke salah satu sisi dapat timbul pada lesi unilateral. Dalam hal tersebut badan cenderung untuk jatuh ke sisi lesi.
Sindroma Vermis Bagian Belakang
Bagian belakang vermis menerima dan mengirim impuls dari dan ke inti vestibular. Kegiatan yang terkait pada lintasan timbal balik tersebut ialah pemeliharaan keseimbangan badan. Oleh karena itu kerusakan pada vermis bagian belakang akan menimbulkan ataksi badan atau ’truncal ataxia’. Dalam hal tersebut badan yang tidak bersandar dapat memelihara sikap yang mantap, sehingga bergoyang-goyang bagaikan seorang sehat yang menggoyang-goyangkan badannya untuk memelihara keseimbangannya pada waktu duduk di kendaraan yang terkocak-kocak oleh lubang-lubang jalan.
Juga karena terganggunya pemeliharaan sikap yang mantap, maka nistagmus timbul. Pada lesi unilateral terdapat nistagmus dengan komponen cepat yang mengarah ke sisi lesi. Arah gerakannya ialah horisontal.
Manifestasi lain dari ketidakmampuan untuk memelihara keseimbangan (sikap) akibat lesi di vermis bagian belakang, ialah sikap tubuh umumnya.
Sindroma Hemisferium Serebeli
Korteks serebeli mempunyai hubungan timbal balik kontralateral dengan korteks serebri. Hubungan tersebut melalui inti-inti pes pontis dan oliva inferior. Korteks serebri yang memancarkan aktivitasnya ke serebelum ialah korteks motorik ekstrapiramidalis. Sumbangan serebelum kepada korteks serebri, baik kepada korteks piramidalis maupun ekstrapiramidalis, dihantarkan melalui serabut-serabut yang menyusun brakhium konyungtivum. Jaras tersebut berakhir di nukleus ventrais lateralis talami. Kemudian efek serebelum dipancarkan oleh inti tersebut kepada korteks piramidalis dan ekstrapiramidalis. Lintasan sirkuit tersebut merupakan lintasan impuls motorik untuk gerakan tangkas. Terputusnya lintasan itu menimbulkan gangguan gerak otot tangkas. Oleh karena jari-jari, tangan dan lengan yang paling banyak melakukan gerakan yang tangkas, maka ataksia paling jelas terlihat pada lengan. Ataksia tersebut dinamakan ’limb ataxia’ atau ataksia lengan. Di samping itu akan didapati juga tanda-tanda astenia, hipotonia, tremor dan disartria.

1 komentar:

do not leave before say anything, please

follow me and i follow you, but don't forget to leave some coments at my post..