Jumat, 17 Oktober 2008

Penyakit Jantung Rematik



PENDAHULUAN
Demam reumatik akut (DR) dan gejala sisanya yaitu penyakit jantung reumatik (PJR) merupakan masalah utama penyakit jantung bawaan pada anak dan remaja di negara berkembang termasuk di Indonesia.1,2 Sekitar 0,3% kasus dari faringitis yang disebabkan oleh Streptokokus β-hemolitikus grup A dapat berkembang menjadi demam reumatik akut.3 Sekitar 39% dari penderita demam reumatik akut akan berkembang menjadi pankarditis dalam berbagai derajat diikuti dengan insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis, bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada pasien dengan penyakit jantung reumatik kronik didapatkan stenosis katup dengan regurgitasi dalam berbagai derajat, dialatasi atrium, aritmia, dan disfungsi ventikel. Penyakit jantung reumatik kronik masih merupakan penyebab utama terjadinya stenosis mitral dan penggantian katup pada orang dewasa di Amerika Serikat.
Demam reumatik akut dan penyakit jantung reumatik diduga merupakan hasil dari respons autoimun, tetapi patogenesis yang sebenarnya masih belum jelas.3 Sementara penyakit jantung reumatik merupakan penyebab kematian yang utama pada usia 5-20 tahun di Amerika Serikat 100 tahun lalu, insidens dari penyakit ini sudah berkurang di negara-negara berkembang dan tingkat mortalitasnya hampir mencapai 0% semenjak tahun 1960-an. Akan tetapi secara global, penyakit jantung reumatik masih merupakan masalah kesehatan yang utama. Penyakit jantung reumatik kronik diperkirakan ada di sekitar 5-30 juta anak-anak dan remaja, dan sekitar 90.000 pasien meninggal setiap tahunnya.3
Penanganan yang terbaik untuk penyakit jantung reumatik adalah melalui pencegahan, dengan pemberian profilaksis jangka panjang dan terus-menerus.3 Diagnosis yang tepat juga diperlukan sebagai langkah awal untuk mencegah terjadinya overdiagnosis ataupun underdiagnosis yang nantinya juga akan berpengaruh terhadap penanganan lebih lanjut.3,4
Tingkat mortalitas dari penyakit ini masih berkisar 1-10%, oleh karena itu dignosis dini, pengobatan secara tepat dan pencegahan sekunder merupakan aspek yang sangat penting dalam penanganan demam reumatik akut dan penyakit jantung reumatik.2,3


DEFINISI

Penyakit jantung reumatik adalah kondisi yang dapat menimbulkan kerusakan permanen terhadap katup jantung yang disebabkan
oleh DR. Katup jantung dirusak oleh suatu proses penyakit yang biasanya didahului dengan radang tenggorokan yang disebabkan oleh Streptokokus, dan dapat menimbulkan DR.
5,6

Demam reumatik merupakan komplikasi lambat dari infeksi faring oleh grup A Streptokokus β-hemolitikus (group A β-hemolytic Streptococcus/GBHS).1 Pada individu yang rentan, infeksi ini akan berlanjut menjadi inflamasi yang menyeluruh yang dapat mengenai jantung, persendian, otak, pembuluh darah, dan jaringan subkutan. Dari seluruh organ yang dapat terlibat, karditis merupakan manifestasi klinis yang paling serius, yang dapat mengakibatkan kelainan katup jantung kronis dan mengakibatkan gagal jantung sampai kematian.1
Tampaknya kerentanan anak sangat menentukan terjadinya infeksi DR. Hanya anak-anak yang rentan saja yang mudah terinfeksi.4 Dan tidak semua anak yang mengalami infeksi streptokokus β-hemolitikus grup A kemudian akan berkembang menjadi DR dan PJR.
PJR lebih sering terjadi pada pasien yang menderita keterlibatan jantung yang berat pada serangan reumatik akut. Urutan kekerapan PJR kronik adalah sebagai berikut :

  • Insufisiensi mitral;


  • Insufisiensi mitral dominan dengan stenosis mitral;


  • Insufusiensi aorta dengan penyakit katup mitral;


  • Penyakit katup aorta tersendiri berupa insufisiensi aorta dengan berbagai tingkat stenosis;


  • Stenosis mitral dominan dengan/tanpa insufisiensi mitral ringan;


  • Insufisiensi trikuspid akibat hipertensi pulmonal karena lesi valvular kiri;


  • Stenosis trikuspid biasanya terjadi bersama dengan penyakit katup mitral serta katup aorta;


  • Insufisiensi pulmonal akibat hipertensi pulmonal oleh karena lesi jantung kiri.4

Secara praktis disebutkan bahwa katup pulmonal tidak terlibat secarap primer.4,6 Pada pasien anak dan remaja, katup mitral pada 85% kasus, katup aorta pada 54%, dan katup trikuspid serta pulmonal pada kurang dari 5% kasus.
Penyakit ini tidak terdapat pada semua jenjang umur, tapi biasanya paling banyak ditemukan hanya pada usia 5-15 tahun.4 Demam reumatik memang sangat jarang ditemukan pada anak berusia di bawah 2-5 tahun. Demikian pula halnya infeksi pertama sangat jarang terjadi pada usia di atas 25 tahun.


PATOFISIOLOGI

Demam reumatik disebabkan oleh infeksi kuman streptokokus β-hemolitikus grup A.3,6 Penyakit ini biasanya dimulai dengann gejala-gejala infeksi tenggorokan lebih dahulu, kemudian disusul dengan masa laten selama 1-3 minggu. Pada fase selanjutnya, DR mulai menyerang organ-organ target sepeti jantung, sendi-sendi, membran basal glomerulus, sistem saraf pusat, jaringan subkutan dan sebagainya.
Semula diduga bahwa salah satu mekanisme cedera jaringan poda proses DR adalah invasi langsung kuman streptokokus.8 Hasil yang negatif pada isolasi organisme dari jaringan membawa peneliti pada rumusan bahwa toksin bakterilah yang bekerja pada jaringan. Apabila terjadi infeksi kuman streptokokus pada jaringan tubuh, maka sel-sel kuman streptokokus akan mengeluarkan komponen-komponen yang bersifat antigenik pula, sepeti hialuronidase, streptodornase, streptokinase, proteinase, sterptolisin O, toksin eritrogenik, dan sebagainya. Dan karena komponen-komponen yang dikeluarkan oleh sel streptokokus itu bersifat antigenik, maka tubuh pun akan membentuk banyak antibodi untuk menetralisirnya.7 Disamping itu, khusus mengenai streptolisin titer O, ternyata zat ini sewaktu-waktu dapat memecah sel darah merah dan menyebabkan kemolisis. Itulah sebabnya, mengapa jenis streptokokus ini dimasukkan pula ke dalam kelas β-hemolitik.
Infeksi DR sering terjadi secara berulang dan dikenal sebagai reaktivasi rema.7 Walaupun penyakit ini merupakan suatu inflamasi sistemik, tetapi PJR merupakan satu-satunya komplikasi demam reumatik yang paling permanen sifatnya dan merugikan masa depan seseorang. Tampaknya komplikasi ini ditentukan oleh beratnya infeksi DR yang pertama kali dan seringnya terjadi reaktibasi rema di kemudian hari. Itu sebabnya, tidak semua DR akan berkembng menjadi PJR. Sebaliknya, tidak semua PJR mempunyai riwayat DR yang jelas sebelumnya. Hal ini mungkin karena gejala-gejala DR pada fase dini memang tak mudah dikenali, atau DR memang tak jarang hanya bersifat silent attack, tanpa disertai gejala-gejala klinis yang nyata.7
Demam reumatik biasanya menyerang jaringan otot miokard, endokard dan perikard, terutama pada katup mitral dan katup aorta.7 Meskipun karditis pada DR dapat mengenai perikardium, miokardium dan endokardium, tetapi kelainan yang menetap hanya ditemukan pada enokardium terutama katup.7,8,9 Katup yang paling sering terkena adalah katup mitral dan aorta. Kelainan pada katup trikuspid santa jarang disebabkan oleh infeksi rema, sedangkan kelainan pada tatup pulmonal biasanya bersifat kongenital dan sangat jarang pula disebabkan oleh infeksi rema.7,8 Kelainan dapat berupa insufusiensi, tetapi bila penyakit berjalan sudah lama berupa stenosis.9
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa streptolisin bersifat toksik pada sel miokard yang dibiakkan in vitro.8 Pemeriksaan imunologik menunjukkan antibodi yang bereaksi dengan M protein dari mikroba penyebab. Antigen streptokokus tersebut memiliki epitop yang sama dengan jaringan miokard jantung manusia, sehingga antibodi terhadap streptokokus akhirnya akan akan menyerang jantung (jaringan, katup).10
Secara histopatologis, infeksi DR ditandai dengan adanya proses Aschoff bodies yang khas, walaupun secara klinis tidak ada tanda-tanda reaktivasi rema yang jelas.7 Daun katup dan korda tendinea akan mengalami edema, proses fibrosis, penebalan, vegetasi-vegetasi dan mungkin kalsifikasi. Proses-proses ini menunjukkan bahwa DR memang merupakan suatu penyakit autonium, dimana reaksi silang yang terjadi antara streptokokus dengan jaringan tubuh tertentu dapat menyebabkan kerusakan jaringan secara imunulogik.
Akan tetapi, peran antibodi sebagai mediator cedera jaringan belum sepenuhnya diterima.8 Adanya antibodi bereaksi silang yng serupa pada serum pasien tanpa demam reumatik mendorong penelitian mediator imun lain. Data mutakhir menunjuk pada sitotoksisitas yang ditengahi oleh sel sebagai mekanisme alternatif untuk cedera jaringan. Penelitian menunjukkan bahwa limfosit darah perifer pasien dengan korditis reumatik akut adalah sitotoksik terhadap sel miokardium yang dibiak in vitro, dan bahwa serum penderita demam reumatik menghapuskan pengaruh sitotoksik tersebut.8




PATOLOGI

Proses patologi pada demam reumatik melibatkan jaringan ikat atau jaringan kolagen.8 Meskipun proes penyakit adalah difus dan dapat mempengaruhi kebanyakan jaringan tubuh, manifestasi klinis penyakit terutama terkait dengan keterlibatan jantung, sendi dan otak.
Keterlibatan jantung pada emam reumatik dapat mengenai setiap komponen jaringannya.8 Proses radang selama karditis akut paling sering terbatas pada endokardium dan miokardium, namun pada pasien dengan miokarditis berat, perikardium dapat juga terlibat. Dengan berlanjutnya radang, perubahan eksudatif dan proliferatif menjadi lebih jelas. Stadium ini ditandai dengan perubahan endomatosa jaringan, disertai oleh infiltrasi selular yang terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan beberapa granulosit. Fibrinoid, bahan granular eosinofil ditemukan tersebar di seluruh jaringan dasar. Pembentukan sel Aschoff menyertai stadium tersebut.8
Lesi patognomis ini terdiri dari infiltrasi perivaskular sel besar dengan inti polimorf dan sitoplasma basofil tersusun dalam roset sekeliling pusat fibrinoid yang avaskular.8 Benda Aschoff dapat ditemukan pada setiap daerah miokardium tetapi paling sering ditemukan dalam jaringan aurikular kiri. Sel Aschoff dapat tampak pada fase akut; mungkin pasien ini menderita karditis kronik dengan kumat demam reumatik. Jarang sel Aschoff ditemukan dalam jaringan jantung pasien tanpa riwayat DR.
Reaksi radang juga mengenai lapisan endokardium yang mengakibatkan endokarditis.8 Proses endokarditis tersebut mengenai jaringan katup serta dinding endokardium. Yang paling sering terlibat adalah katup mitral, disusul katup aorta. Katup trikuspid jarang terlibat, dan katup pulmonal jarang sekali terlibat.
Radang awal pada enokarditis dapat menyebabkan terjadinya insufisiensi katup.7 Penemuan histologis dalam endokarditis terdiri dari edema dan infiltrasi selular jaringan katup dan korda tendinea. Lesi yang khas endokaditis reumatik adalah ‘tambalan (patch) MacCallum’, daerah jaringan menebal yang ditemukan dalam atrium kiri, yakni di atas dasar daun katup mitral posterior. Degenerasi hialin pada katup yang terkena akan menyebabkan pembentukan veruka pada tepinya dan kontraktur daun katup, yang akan menghalangi pendekatan daun-daun katup secara total dan menghalangi penutupan ostium katup. Dengan radang yang menetap, terjadilah fibrosis dan kalsifikasi katup.4 Kalsifikasi mikroskpois dapat terjadi pada pasien muda dengan PJR.


DIAGNOSIS

Kriteria Jones pertama kali diperkenalkan pada tahun 1944 sebagai petunjuk klinis untuk menegakkan diagnosis DR dan PJR. Berdasarkan prevalensi dan spesifitas gejala, maka gambaran klinis DR digolongkan menjadi 2 kategori yaitu kriteria mayor dan kriteria minor.1
Kriteria Jones yang pertama kali dicetuskan oleh Dr. T. Duckett Jones pada tahun 1944, sampai saat ini telah mengalami 4 kali modifikasi, dan kriteria yang terbaru adalah kriteria yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2002-2003 (Tabel 1).1 Kriteria yang telah direvisi ini selain digunakan untuk membuat diagnosis DR dan PJR, juga sangat membantu untuk menegakkan diagnosis serangan ulang DR pada penderita tanpa PJR, serangan ulang DR pada penderita PJR, reumatik korea, reumatik karditis yang terjadi secara perlahan-lahan, dan PJR kronis. Khusus pada penderita dengan gejala korea Sydenham, pada penderita dengan gejala karditis yang terselubung, serta kadang-kadang penderita dengan DR berulang, oleh karena antibodi terhadap streptokokus mungkin telah kembali ke nilai normal, pada ketiga kondisi di atas kritieria ini dapat diabaikan. Kriteria ini telah terbukti dapat mencegah overdiagnosis DR.
Tabel 1. Kriteria WHO 2002-2003 untuk diagnosis DR dan PJR (berdasarkan kriteria Jones yang telah direvisi).1


Kriteria Diagnostik
KRITERIA
Episode pertama DR




Serangan ulang DR pada penderita tanpa PJR


Serangan ulang DR pada penderita dengan PJR
Reumatik korea
Reumatik karditis yang tiba-tiba


Lesi katup kronis pada PJR (penderita datang pertama kali dengan murni gejala mitral stenosis atau kombinasi kelainan katup mitral dan/atau kelainan katup aorta)
2 mayor* atau 1 mayor dan 2 minor** ditambah bukti infeksi streptokokus grup A sebelumnya ***
2 mayor atau 1 mayor dan 2 minor ditambah bukti infeksi streptokokus grup A sebelumnya
2 minor ditambah bukti infeksi streptokokus grup A sebelumnya
Manifestasi mayor lainnya atau bukti Infeksi streptokokus grup A tidak diperlukan
Untuk diagnosis tidak memerlukan kriteria lain oleh karena telah menunjukkan gejala PJR


* Manifestasi mayor








** Manifestasi minor








*** Bukti penunjang infeksi streptokokus sebelumnya dalam 45 hari terakhir

  • karditis


  • poliartitis


  • korea


  • eritema margintum


  • nodul subkutan


  • klinis: demam, poliartralgia


  • laboratorium: peningkatan
    reaktan fase akut (laju endap
    darah atau jumlah leukosit)



  • EKG: pemanjangan interval P-R


  • Peningkatan antistreptolisin-O
    atau antibodi streptokokus
    lainnya, atau



  • Biakan tenggorok yang +, atau


  • Rapid antigen test untu
    streptokokus grup A, atau



  • Demam skarlatina sebelumnya

Dikutip dari Diagnosis dan Tatalaksana Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik, dalam “Hot Topics in Paeiatrics” Pediatrik Gawat Darurat, Kardiologi Anak dan Perinatologi di Balikpapan, 18-19 Maret 20061

Perencanaan elektrokariografi dan ekokardiografi

Penelitian di Jakarta tentang manfaat serta sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan elektrokardiografi sebagai diagnosis penunjang untuk DR dan PJR dapat untuk menentukan adanya hipertrofi ventrikel kiri, dan stenosis katup mitral, pemeriksaan elektrokardiogrfi cukup sensitif.1 Kombinasi pemeriksaan EKG dan foto dada memiliki nilai sensitifitas dan nilai duga negatif yang tinggi. Di dalam kriteria Jones tidak disebutkan peranan elektrokardiografi. Saat ini pemeriksaan ekokardiografi memegang peranan penting dalam membantu menemukan adanya karditis oleh karena pada pemeriksaan klinis seringkali murmur derajat ringan sulit dideteksi oleh karena adanya takikardia.1
Pemeriksaan ini bila dilakukan pada pasien dengan DR akut yang diagnosisnya ditegakkan dengan kriteria Jones yang ketat, dikatakan dapat menghindari overdiagnosis dan underdiagnosis karditis.1 Beberapa penelitian dengan menggunakan ekokardiografi pada pasien DR akut, dapat meningkatkan penemuan kejadian karditis dengan regurgitasi. Selain itu dengan pemeriksaan ini juga dapat dideteksi adanya prolaps katup, penebalan katup dan efusi perikardium. Insidens karditis yang tinggi, atau karditis subklinis dijumpai pada penderita dengan reumatik korea atau atralgia.


EKG pada PJR

  • Pada demam reumatik akut, gambaran EKG tidak sangat berarti dalam diagnosis. Untuk diagnosis tanda-tanda yang perlu dicari adalah kelainan pada konduksi, tanda-tanda keterlibatan miokardium dan perikardium dan tanda-tanda adanya hipertrofi atrium atau ventrikel.


  • Kelainan pada konduksi: yang paling sering adalah blokade konduksi AV. Interval PR memanjang (PR normal + 0.04 detik) adalah tanda blokade AV derajat 1 (first degree heart block) dan merupakan kriteria minor pada kriteria Jones.


  • Tanda-tanda yang melibatkan miokardium dan perikardium. Gelombang T yang rendah bdengan disertai depresi ST merupakan petunjuk adanya penyakit miokard. Apabila ada perikarditis, segmen ST sering elevaasi pada hampir semua hamparan.


  • Hipertrofi atrium dan ventrikel. Adanya dilatasi jantung karena adanya radang dan regurgitasi mitral atau regurgitasi aorta pada EKG akan tampak adanya gelombang R yang tinggi di hantaran V6. Hal ini menandakan adanya Hvki. Adanya P mitral menunjukkan adanya dilatasi atrium.11



EKG pada PJR kronik

  • Pengaruh hemodinamik penyakit jantung reumatik dievaluasi dengan bantuan EKG. Akan tetapi, tidak ada gambaran EKG spesifik pada penyakit ini dan semua gambaran EKG memproyeksikan adanya penyakit valvula. Pada anak-anak insufisiensi mitral paling sering terdapat, sedangkan stenosis mitral sangat jarang.


  • Penambahan beban (hipertrofi0 ventrikel kiri diwujudkan sebagai voltase QRS seperti gelombang S yang dalam di hantaran V1 dan gelombang R yang tinggi di hantaran V6. Pada kasus lain, gelombang Q yang dalam di hantaran V6 menunjukkan adanya regurgitasi mitral.


  • Apabila ada gambaran kompleks QRS pada ad.1, ditambah dengan gelombang T peak pada hantaran V6, menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri tipe volume. Jika beban ventrikel kiri berat sekali, akan tampak inversi T dan depresi ST sebagai gambaran strain ventrikel kiri.


  • Jika ada regurgitasi atau stenosis mitral berat, akan terjadi gambaran hipertrofi atrium kiri.


  • Jika terjadi hiopertrofi atrium kiri yang berat, dapat membawa ke arah fibrilasi atrium.11



Ekokrdiografi

    • Karditis ringan: regurgitasi mitral mungkin didapatkan selama fase akut akan tetapi dapat menghilang dalam beberapa minggu atau bulan. Akan tetapi, pada pasien dengan karditis derajat sedang maupun berat mungkin didapatkan stenosis mitral dengan/tanpa regurgitasi aorta.


    • Yang paling penting dari regurgitasi mitral pada valvulitis reumatik akut adalah dilatasi dari anular, dan pemajangan dari korda tendinae ke bagian anterior.


    • Selama demam reumatik akut, ventrikel kiri lama-kelamaan akan berdilatasi sebagai akibat dari fractional shortening yang normal atau bahkan meningkat.


    • Pada penyakit jantung reumatik kronik, ekokardiografi dapat berguna untuk mengetahui progresifitas dari stenosis katup dan dapat membantu memperkirakan waktu yang tepat untuk dilakukan intevensi bedah. Daun dari katup yang terkena lama-kelamaan akan menebal, dengan perlekatan beberapa komisura dan korda tendinea. Densitas yang meningkat dari katup mitral dapat menunjukkan adanya proses kalsifikasi.3



TERAPI

Di negara maju kebanyakan anak dan remaja yang menderita PJR adalah asimtomatik oleh karena lesi katupnya ringan yang atau sedang dengan ukuran jantung normal atau sedikit membesar.7 Mereka tidak perlu pembatasan aktivitas fisik, yang mungkin bahkan merugikan karena terjadi neurosis jantung. Lagipula, pembatasan aktivitas fisik pada kelainan sedang tidak perlu, karena pasien segera mengerti toleransi kerjanya sendiri. Namun, olahraga dalam tim atau olahraga kompetetif atau latihan isometrik dianjurkan jika ada riwayat gagal jantung yang baru atau terdapat kardiomegali sedang atau berat.7
Penanganan yang berbaik untuk penyakit jantung reumatik adalah pencegahan.4 Perlu ditekankan pentingnya profilaksis jangka panjang lama dan terus menerus dalam pertemuan pertama dengan pasien dan keluarga. Lebih baik pada awal serangan demam reumatik diterangkan sifat kumat penyakit ini, dan ditekankan pentingnya pemberantasan infeksi streptokokus serta bahaya endokarditis. Penjelasan rinci tentang profilaksis pada anamnesis dan tiap kunjungan selanjutnya mengurangi angka mangkir (drop outs) program kemoprfilaksis, terutama pada pasien yang tanpa gejala.4


Pencegahan primer demam reumatik

Pencegahan primer demam reumatik adalah pemberian antibiotika untuk pengobatan infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bagian atas, yang bertujuan untuk mencegah serangan pertama DR akut (Tabel 2).1 Gejala yang menunjang untuk faringitis oleh karena streptokokus grup A adalah demam tinggi yang tiba-tiba, sakit tenggorokan hebat sampai sulit menelan, rash scarlatina dan nyeri abdomen.






Tabel 2. Pencegahan primer demam reumatik: terapi yang dianjurkan untuk pengobatan terhadap faringitis streptrokokus.1
Antibiotika
Pemberian
Dosis
Keterangan
Benzatin benzylpenisilin


Phenoxymethyl penicillin
(Penicillin V)





Amoksisilin






Cefalosporin generasi pertama Eritromisin etilsuksinat
Injeksi i.m, tunggal


Oral 2-4 kali/hari selama 10 hari






Oral 2-3 kali/hari, selama 10 hari




Oral 2-3 kali/hari selama 10 hari


Oral 4 kali/hari selama 10 hari
1.200.000 unit i.m; BB <27 kg: 600.000 unit


Anak: 250 mg, 2 atau 3 kali
Remaja : 250 mg, 3 atau 4 kali, atau 500 mg 2 kali sehari
25-50 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis. Total dosis dewasa 750-1500 mg/hari
Bervariasi tergantung jenisnya


Bervariasi sesuai jenisnya. Sediaan yang tesedia dalam bentuk stearat, etilsuksinat, estolat atau basa
Lebih disebangi daripada penisilin oral, karena kepatuhan lebih baik
Belum pernah dilaporkan GABHS yang resisten terhadap penisilin




Rasa lebih disukai daripada penisilin oral




Sebagai alternatif untuk penisilin oral


Sebagai alternatif bila penderita alergi terhadap penisilin
Dikutip dari Diagnosis dan Tatalaksana Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik, dalam “Hot Topics in Paeiatrics” Pediatrik Gawat Darurat, Kardiologi Anak dan Perinatologi di Balikpapan, 18-19 Maret 20061


Pencegahan sekunder terhadap demam reumatik akut

Penderita demam reumatik mempunyai resiko besar untuk mengidap serangan ulangan demam reumatik setelah terserang infeksi bakteri streptokokus grup A berikutnya.1 Oleh karena itu, pencegahan merupakan aspek penanganan demam reumatik yang sangat penting. Pencegahan sekunder pada dasarnya merupakan pemberian antibiotik secara teratur pada penderita yang pernah mengidap demam reumatik agar tidak terjadi infeksi streptokokus pada saluran pernafasan bagian atas, sehingga tidak terjadi serangan ulang demam reumatik.
Untuk terjadinya serangan ulang DR dan infeksi saluran nafas atas karena GABHS maka diperlukan pemberian antibiotika yang spesifik pada penderita yang sebelumnya menunjukkan serangan akut DR, atau PJR yang nyata.1
Pemberian benzathine penicilline secara intramuskular yang 4 minggu sekali masih merupakan pilihan pertama pada penderita yang tidak alergi terhadap penizilin.1 Pemberian benzathine penicilline 1.200.000 U secara intramuskular setiap 4 minggu menunjukkan angka kekambuhan 0,4%/tahun dengan angka kepatuhan 4%. Sedangkan dengan pemberian penisilin G peroral sebanyak 200.000 U/hari angka kekambuhan pertahun sebanyak 5,5% dan angka kepatuhan 50%. Penelitian pada anak di Jakarta, dengan membandingkan kadar penisilin di dalam darah antara anak yang diberikan profilaksis benzathine penicillin G setiap 3 minggu dengan pemberian tiap minggu, tidak dijumpai perbedaan kadar yang bermakna.1


Tabel 3. Antibiotik untuk pencegahan sekunder demam reumatik.1
Antibiotika
Cara Pemberian
Dosis
Benzathine benzylpenisilin/
Benzathine penicilline G


Penisilin V
Sulfonamid
Eritromisin
Injeksi intramuskuler tunggal setiap 3-4 minggu
Oral


Oral


Oral
Anak dan dewasa BB
> 30 kg: 1.200.000 unit

Anak < 30 kg: 600.000 unit
250 mg dua kali sehari

Anak dan dewasa BB
> 30 kg: 1 gram/hari.

Anak < 30 kg: 500 mg/hari
250 mg dua kali sehari.

Dikutip dari Diagnosis dan Tatalaksana Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik, dalam “Hot Topics in Paeiatrics” Pediatrik Gawat Darurat, Kardiologi Anak dan Perinatologi di Balikpapan, 18-19 Maret 20061


Pemberian anti inflamasi, anti korea, dan kortikosteroid

Oleh karena beberapa bukti menunjukkan proses inflamasi merupakan penyebab utama gejala karditis, maka pemberian obat anti inflamasi seperti kortikoseteroid dan aspirin digunakan untuk pengobatan DR akut.1
Pada kasus dengan karditis berat, pemberian aspirin harus dikombinasi dengan pemakaian kortikosteroid (Tabel 4).1 Beberapa peneliti menunjukkan pemberian kortikosteroid, yang mekanisme kerjanya sebagai antiinflamasi dan imunosupresif, dapat mengurangi lamanya serangan dan mengurangi kerusakan pada katub jantung. Secara farmakologis kortikosteroid bekerja dengan mempertahankan interitas kapiler, stabilisasi organel sitoplasma (sehingga mencegah pelepasan enzim hidrolitik), mencegah perlekatan sel darah merah pada endotel vaskuler, dan mengurangi proses diapedesis dinding kapiler dengan makrofag dan sel polimorfonuklear pada daerah inflmasi. Tetapi sayangnya pemberian kortikosteroid, anti-inflamasi non-steroid yang baru seperti naproxen dan metilprednisolon atau imunoglobulin intravena tidak dapat mencegah atau menurunkan resiko keterlibatan katup jantung pada penderita dengan DR akut. Selain itu preparat anti inflamasi sampai saat ini juga belum pula terbukti dengan baik dapt merubah perjalanan penyakit karditis. Demikian pula dengan pemberian imunoglobulin intravena, tidak dapat merubah perjalanan penyakit DR akut.1
Untuk pengobatan korea Sydenham’s masih digunakan preparat yang bertujuan mengurangi gerakan involunter, yaitu haloperidol.1 Dosis awal yang dianjurkan 1-3 gram/hari, dan dapat dinaikkan setiap 5 hari sampai gejala menghilang. Dosis ini dipertahankan selama 2 minggu dan kemudian secara bertahap diturunkan. Obat lain yang dapat dipilih adalah diazepam dan karbamazepin.


Tabel 4. Rekomendasi pemberian obat anti inflamasi.1


Artritis saja
Karditis Ringan
Karditis Sedang
Karditis
Berat

Prednison
Aspirin
0
1-2 minggu
0
3-4 minggu**
0
6-8 minggu
2-8 minggu*
2-4 bulan
* Dosis prednison harus diturunkan bertahap dan pemberian aspirin dimulai pada minggu terkhir
** Aspirin dapat diturunkan sampai dosis 60 mg/kg/hari setelah 2 minggu terapi
Dosis : Prednison : 2 mg/kg/hari, dalam 4 dosis terbagi
Aspirin : 100 mg/kg/hari, dalam 4-6 dosis tinggi


Dikutip dari Diagnosis dan Tatalaksana Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik, dalam “Hot Topics in Paeiatrics” Pediatrik Gawat Darurat, Kardiologi Anak dan Perinatologi di Balikpapan, 18-19 Maret 20061


Tirah Baring

Tirah baring sangat penting pada semua gejala klinis DR akut.1 Bila terjadi poliartritis, tirah baring dapat membantu menghilangkan rasa sakit. Pada anak dengan gejala korea, tirah baring di tempat yang tenang dapat menurunkan gerakan-gerakan yang tidak terkoordinasi tersebut. Bila terdapat keterlibatan jantung, tirah baring akan menurunkan kerja jantung, membantu mengendalikan gagal jantung, dan menurunkan keterlibatan katup dan miokard. Apabila diperlukan pemberian digoksin jangka panjang dengan dosis satu kali sehari ternyata juga cukup aman dan efektif untuk penderita dengan PJR.1
Pada penderita tanpa karditis, tirah baring tidak perlu menjalani tirah baring secara ketat, cukup selama 2-4 minggu.1,2 Tirah baring selanjutnya diikuti aktivitas ambulatoar secara bertahap selama 2 minggu. Pada penderta dengan karditis ringan (ditandai takikardia, melemahnya suara jantung pertama, dan murmur katup mitral ringan tanpa pembesaran jantung) dianjurkan tirah baring selama 2-4 minggu. Akan tetapi pada keadaan gejala yang lebih berat, seperti adanya efusi perikardial, murmur, pembesaran jantung, dan gagal jantung, penderita harus tirah baring total paling tidak selama pengobatan kortikosteroid, atau sampai semua gejala menghilang.
Yang paling menentukan lamanya tirah baring dan jenis aktivitas yang boleh dilakukan adalah penilaian klinik dokter yang merawat.2 Sebagai pedoman, tirah baring sebaiknya tetap diberlakukan sampai semua tanda demam reumatik akut telah mereda, suhu kembali normal saat tirah baring tanpa pemberian obat antipiretik, denyut nadi kembali normal dalam keadaan istirahat, dan pulihnya fungsi jantung secara optimal.


Perjalanan penyakit PJR

Faktor-faktor yang turut berperan terhadap berulangnya serangan DR yaitu: usia saat pertama serangan, adanya PJR, jarak waktu serangan ulang dari serangan sebelumnya, jumlah serangan demam sebelumnya, derajat kekumuhan suatu keluarga, riwayat keluarga dengan DR/PJR, faktor sosial dan edukasi penderita, resiko infeksi streptokokus di area tempat tinggal, dan penerimaan penderita terhadap pengobatan yang diberikan.1
Tabel 5 di bawah memuat lamanya pemberian profilaksis sekunder yang dianjurkan.


Tabel 5. Lamanya pemberian profilaksis sekunder yang dianjurkan.1
Kategori penderita
Lamanya profilaksis
Penderita tanpa karditis


Penderita dengan karditis (regurgitasi ringan katup mitral atau karditis yang sudah sembuh)
Penyakit katup yang lebih berat
Setelah operasi katup
5 tahun setelah serangan ringan terakhir, atau sampai usia 18 tahun
10 tahun setelah serangan terakhir, atau minimal sampai usia 25 tahun


Seumur hidup
Seumur hidup
Dikutip dari Diagnosis dan Tatalaksana Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik, dalam “Hot Topics in Paeiatrics” Pediatrik Gawat Darurat, Kardiologi Anak dan Perinatologi di Balikpapan, 18-19 Maret 20061


Masalah khusus timbul pada anak dan remaja yang berada dalam terapi selama bertahun-tahun. Pada pasien yang mengalami perburukan klinis tanpa diketahui sebabnya, hal berikut harus disingkirkan :

  1. Reaktivasi karditis reumatik. Pada banyak pasien hal ini sulit dikesampingkan terutama bila tidak terdapat tanda demam reumatik akut yang jelas.


  2. Infeksi. Endokarditis yang tidak diketahui dan tidak diobati menyulitkan penyakit jantung reumatik, yang akhirnya menyebabkan gagal jantung yang amat sulit dikendalikan. Pada pasien yang telah sembuh dari endokarditis, kerusakan katup dapat mengawali perburukan perjalanan penyakit.


  3. Ketidakseimbangan elektrolit. Terapi diuretik jangka lama dapat dipersulit oleh hipokalemia, alkalolis hipokalemik, atau hiponatremia.


  4. Emboli paru tidak sering terjadi pada anak dan remaja, tetapi harus dipikirkan pada pasien yang tidak responsif terhadap terapi.


  5. Disritmia, terutama fibrilasi atrium dengan respons ventrikel yang cepat. Untuk ini digitalis merupakan obat terpilih, meski direct current countershock (DC shock) efektif pada pasien yang terus-menerus tidak responsif. Namun DC shock tidak bijaksana dilakukan apabila fibrilasi atrium merupakan bagian perjalanan alamiah penyakit, karena adanya kemungkinan kumat.4

Komplikasi lain yang khas pada pasien PJR kronik yang memerlukan terapi fisik meliputi: (a) Edema paru; ini merupakan kedaruratan medik dan memerlukan pemberian oksigen, morfin, diuretik, turniket berselang-seling, dan pemberian digitalis secara bijaksana. (b) Hemoptisis; komplikasi yang menakutkan ini jarang menyebabkan hipovolemia yang bermakna dan jarang fatal, dan perlu ditangani dengan tirah baring dan morfin.3


Pembedahan

Walaupun telah tersedia pembedahan untuk penyakit jantung reumatik kronik, hal ini jarang terindikasi pada anak atau remaja.7 Sebagian besar pasien dalam kelompok umur ini penyakitnya stabil, dengan hanya terjadi deformitas valvular ringan atau sedang. Namun dalam hal tertentu, pembedahan dapat memberi manfaat yang besar terutama pada pasien yang proses reumatiknya tidak aktif.
Indikasi utama operasi insufisiensi mitral dominan meliputi gagal jantung yang sering kumat yang tidak responsif dengan penanganan medik, dispne berat pada aktivitas sedang, kardiomegali progresif, hipertensi vena dan arteri pulmonalis, fraksi regurgitasi melebihi 50% dan volume akhir diastole ventrikel kiri 250% atau lebih dari perkiraan normal.4 Pada masa prabedah mungkin pasien berespons dramatis terhadap digitalis, diuretik, dan pengurangan afterload, tetapi ini tidak selalu menetap; gejala dapat berulang pada awal aktivitas normal.
Sejumlah ahli telah melaporkan hasil yang baik dengan anuloplasti.4 Teknik ini menarik untuk anak karena katup masih fleksibel dan karena kekhawatiran komplikasi prostesis jangka lama seperti tromboemboli, infeksi, hemolisis, dan komplikasi antikoagulan. Namun hasil anuloplasti jangka lama tidak jelas, oleh karena insufisiensi mitral dapat kumat dan stenosis mitral dapat terjadi akibat infeksi reumatik semual. Valvuloplasti mitral dengan kerangka protetik khusus yang diselipkan ke dalam anulus mitral dilaporkan oleh Carpentier dkk yang menyebutkan beberapa manfaat berikut : konfigurasi anulus mitral dipertahankan normal, tidak terdapat penyempitan area orifisium, mobilitas daun katup dipertahankan, dan dilatasi anulus ulang dicegah.
Persiapan prabedah jantung pasien penyakit jantung reumatik kronik meliputi digitalisas dan diuresis yang cukup.4 Akan tetapi diuresis yang terlalu banyak prabedah harus dihindarkan oleh karena ketidakseimbangan elektrolit, terutama hipokalemia, berhubungan dengan komplikasi pascabedah, seperti disritmia berat, intoksikasi digitalis, dan psikosis. Emboli katup prostetik cukup sering terjadi sehingga diperlukan antikoagulan jangka lama, yang membawa masalah pengaturan dosisnya. Perawatan cermat pasca bedah sangat penting dengan penekanan pada profilaksis terhadap kumat demam reumatik dan endokarditis. Juga diperlukan penilaian fungsi katup teratur dan ketat untuk deteksi berulangnya insufisiensi atau stenosis.4


DAFTAR PUSTAKA


  1. Sukardi, R., Sastroasmoro, S. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Rematik. Dalam: “Hot Topics in Paediatrics” Pediatrik Gawat Darurat, Kardiologi Anak dan Perinatologi di Balikpapan, 18-19 Maret 2006. h: 121-9.




  1. Kisworo, Bambang. Hasil Penelitian Demam Reumatik. Dalam: CDK Vol 116 tahun 1997. h: 25-8.




  1. Chin, Thomas K. Reumatic Heart Disease. Diakses dari http://www.emedicine.com pada tanggal 29 Maret 2007. Last updated : 19/05/2006.




  1. Wahab, A. Samik. Penyakit Jantung Reumatik Kronik. Dalam: Buku Ajar Kardiologi Anak IDAI Jakarta. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994. h: 317-44.




  1. Rematic Heart Diesease. Diakses dari http://www.musc.com pada tanggal 16 Februari 2007. Last updated: 11/08/2006.




  1. Bagian IKA FK UNPAD RS Hasan Sadikin Bandung. Penyakit Jantung Reumatik. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi IKA. 2005. h: 342-43.




  1. Baraas, Faisal. Demam Reumatik. Dalam : Kardiologi Klinis dalam Praktek Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung pada Anak FKUI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1995. h: 215-22.




  1. Wahab, A.Samik. Demam Reumatik Akut. Dalam: Buku Ajar Kardiologi Anak IDAI Jakarta. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994.
    h: 279-316.





  1. Carabello, B. A., Crawford, F.A. Medical Progress Valvular Heart Disease. NEJM Volume 337, 1997: 32-42. Diakses dari http://www.nejm.org pada tanggal 13 Februari 2007.




  1. Baratawidjaja, Karnen Garna. Autoimunitas. Dalam: Imunologi Dasar edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2004. h: 218-48.




  1. Wahab, A.Samik. Gambaran EKG pada Bayi dan Anak. Dalam: Kuliah-Kuliah Dasar EKG Anak edisi 2. Jakarta: EGC. 2005.
    h: 74-7.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

do not leave before say anything, please

follow me and i follow you, but don't forget to leave some coments at my post..