Selasa, 28 Desember 2010

WHERE HAVE ALL THE FATHERS GONE?


 
Bill Cosby memang berharga. Ketika beberapa tahun silam, anaknya Bill Cosby
Jr diterjang peluru, hampir sebagian warga dunia berguncang. Seorang ayah
'ideal' kehilangan anaknya. Puluhan pertanyaan berhamburan dibalik kejadian
itu. Orang-orang tidak membayangkan Bill Cosby Jr punya masalah dengan
bandit-bandit pengedar obat terlarang. Bukankah Bill Cosby seorang ayah
ideal, humoris, sabar, pengertian, enak dan perlu.
 
Tidaklah berlebihan, kalau Alvin F. Poussaint M.D, seorang Asisten Profesor
dari Harvard MedicalSchool, membutuhkan 10 halaman untuk menjelaskan
kehebatan sang tokoh. Namun ada satu pertanyaan inti yang tidak mampu
dijawab secara transparan oleh Bill.yaitu, "Where has Bill gone?".
 
Kemanakah Bill pergi selama ini. Apakah yang ia lakukan sepanjang hari
dengan anaknya. Kenapa, Bill tidak mengetahui sedikitpun tentang sepak
terjang anaknya?
 
Malam, ketika tulisan ini sedang dirampungkan, telpon rumah saya berdering.
Interlokal dari kampung saya disebuah dusun pedalaman Sumatra. Suara gagap
dan ragu-ragu kakak perempuan saya mengabarkan, dua orang keponakan kami
masuk penjara. Satu orang tertangkap sebagai pengedar Narkoba dan satu lagi
sebagai pemakai Narkoba kronis. Sama seperti Bill Cosby, tiba-tiba puluhan
pertanyaan menyergap dan mengepung ruang dalam otak kanan saya. Semua
pertanyaan itu berputar-putar dan akhirnya berpilin pada sebuah
pertanyaan...
 
"Where has their father gone ?"
 
Kemanakah ayah mereka pergi selama ini ?
 
Sehari sebelum saya terima kabar dari kampung, dalam sebuah dialog antara
pemerhati pecandu Narkoba, seorang ibu bercerita. Katanya, tak ada kesakitan
yang lebih mencekam ketimbang cengkraman Narkoba pada anaknya.
Dengan menahan tangis dan sedikit dendam, ia mengatakan anaknya adalah
korban dari hilangnya lelaki dewasa (ayah) dalam putaran kehidupan rumah
tangganya.
 
"Where has the father gone ?"
 
Dimana sih ayah-ayah mereka?
 
Anak-anak yang ditakdirkan menjadi pelaku sejarah diatas hanyalah sebagian
kecil di antara berjuta anak yang sebenarnya tidak membutuhkan konseling
psikologi.
 
Apa yang mereka butuhkan namun seringkali tidak mereka miliki- adalah ayah
yang peduli padanya dan punya waktu untuk bersama. Anak-anak itu tidak butuh
tenaga psikiater tapi dia butuh seseorang yang bisa dipercaya. Lalu
dimanakah ayah-ayah mereka? Ada dua jawaban.
 
Pertama, ayah yang ada tapi suka membolos. Tipe ini kita temukan
dimana-mana. Di lapangan golf, tenis, bulu tangkis, kantor dan tempat
lainnya.
 
Ada ayah yang dinas luar (tugas kantor atau dakwah) ke daerah-daerah hampir
setiap bulan.
 
Ada ayah yang bekerja, berangkat sesudah subuh dan pulang larut malam.
 
Ada juga ayah yang nongkrong, tidur-tiduran ditempat tertentu hanya untuk
melegitimasi bahwa ia sibuk sepanjang hari. Sehingga seolah-olah hanya ada
waktu sisa buat anak-anaknya.
 
Kesimpulannya, ayah-ayah ini ada di mana-mana, tapi mereka sering membolos
dari waktu bersama anaknya. Mereka (ayah-ayah ini) sulit ditemukan di
rapat-rapat POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru), karena ada
peninggalan purba yang menyatakan bahwa urusan sekolah adalah hak mutlak
sang ibu semata .
 
Kita jarang menemukan ayah di tempat praktek dokter menggendong anaknya yang
sakit.
 
Kita juga tidak melihatnya di kantor kepolisian mengurus anaknya yang
melakukan tindakan kriminal.Ayah-ayah ini apabila ditanyakan pada
mereka:apakah yang penting dalam hidupmu ? Biasanya mereka menjawab:keluarga
dan
anak-anak. Naifnya, jawaban ini sering tidak tercermin dalam kehidupan
sehari-hari, khususnya bagaimana mereka mengatur waktu dan tenaga mereka
sehari-hari antara pekerjaan dan anak. Simaklah dialog berikut ini:
 
Sang Anak : "Ayah, Yah main bola yuk!"
 
Sang Ayah : "O, ya. Ayah baca koran dulu!"
 
"O, ya. Ayah nonton berita dulu !"
 
"O, ya. Ayah janji main bola hari Sabtu!"
 
"O, ya. Ayah ada acara nih"
 
"O, ya. Ayah lagi cape ? "
 
"O, ya. Ayah lagi banyak kerjaan"
 
"O, ya. Ayah mau tapi ? "
 
Mungkin ayah seperti inilah yang dimaksudkan oleh hasil need assesment dari
Lembaga Demografi salah satu universitas negeri di Jakarta. Jajak pendapat
itu menerangkan empat ciri menonjol ayah tipe Pertama ini. Cepat
marah, jarang ada waktu ngobrol dengan anak, ditakuti anak dan selalu
menakar seluruh pekerjaan dengan uang.
 
Kedua, ayah yang ada (fisik) dan rajin tapi tidak tahu harus berbuat
apa.Kita menemukan ayah-ayah ini sering berada di rumah. Mereka mengerjakan
banyak hal, tapi tidak terlalu mengerti apa yang dikerjakannya. Sebuah
gelombang rutinitas menjebak dan membawanya berputar-putar ke dalam
pekerjaan yang memiliki kualitas rendah.
 
Anak-anak menjumpai tokoh ini sepanjang waktu di rumah, namun sayangnya
lambat laun sang tokoh menjadi tidak berarti dalam kehidupan mereka. Tidak
ada lagi kejutan-kejutan psikologis yang biasa ditunggu-tunggu anak dari
seorang ayah yang normal. Ritme komunikasi berjalan tanpa greget dan hambar.
 
Sebagian besar korban Narkoba dan pelecehan seksual di kalangan remaja
memiliki ayah tipe kedua ini.
 
Bukan Superman tapi Superstar. Benar, ayah bukanlah superman, tapi ia adalah
superstar.
 
Ia bintang di tengah keluarga. Ia pembawa dan penentu model sekaligus agen
sosial. Lewat aksi panggungnya yang memikat, ia menggemuruhkan keceriaan
keluarga. Tapi, sebagai seorang bintang, ia tidak lahir dengan sendirinya.
Ia membutuhkan dukungan, karena bagi lelaki peran ayah bukanlah peran
instingtif.
 
Peran ini lebih membutuhkan bimbingan sosial dari pada wanita dengan
perannya sebagai ibu. Sebelum dukungan datang dari luar, maka sang ayah
harus mencari dukungan dari dirinya sendiri. Mereka haruslah secara kontinyu
merangsang dialog dengan hati nurani secara intens dan apresiatif.
 
Dialog-dialog ini harus mampu meyakinkan bahwa ia tidaklah satu-satunya ayah
yang sedang belajar menjadi superstar. Bahwa anak-anak membutuhkan cinta,
dukungan, dorongan dan perlindungannya. Bahwa melalui anak-anak
para orang tua diajarkan makna hidup, cinta, kesucian, kesabaran dan
sebagainya. Bahwa anak-anak melihat dunia luar dengan perantara jendela sang
superstar.
 
Dukungan dalam diri tidak akan berarti tanpa tekun dan sabar berlatih.
Sampai suatu saat hilangnya kekakuan dalam berhadapan dengan anak-anak.
Muncullah ayah yang dengan ikhlas membantu anaknya mengerjakan PR,
memandikan anak, mencuci baju dan belanja. Ayah yang membacakan buku cerita
untuk anaknya, mengantar anak les komputer.
 
Ayah-ayah inilah yang akan membuat dunia ini berputar dan menjawab
pertanyaan : "Where have all the fathers gone?" dengan "Here I am. Now and
forever!"
 
*tulisan ngambil dari postingan moderator milis sehat, Om Gendi*

4 komentar:

  1. waaaahhh bahan renungan buat masa depan nih :)

    BalasHapus
  2. Halo Seiri,

    Saya merinding membaca tulisan anda yang sangat menyentuh dan mengingatkan saya sebagai seorang ayah anak laki2 berusia 10 tahun.
    Terima kasih atas sharingnya, dan selamat Tahun Baru.

    BalasHapus
  3. Memang berat tugas orang tua atau ayah untuk membimbing anak menuju masa depan dan menjauhkan dari cengkeraman narkoba. Paling tidak, posting sebagai renungan dan pembelajaran. makasih...

    Salam hangat & sehat selalu...

    BalasHapus

do not leave before say anything, please

follow me and i follow you, but don't forget to leave some coments at my post..