Lepra merupakan masalah sosial-medis yang sangat serius terutama di negara-negara berkembang. Jumlah pasien di dunia diperkirakan mencapai 10-20 juta, 99 % diantaranya berada di Asia, Afrika dan Amerika Selatan.1
Sampai saat ini penyakit kusta masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, meskipun pada pertengahan tahun 2000 indonesia sudah mencapai eliminasi kusta. Hal ini disebabkan karena sampai akhir tahun 2002 masih ada 13 propinsi dan 111 kabupaten yang belum dieliminasi. Dengan eliminasi yaitu suatu kondisi dimana penderita kusta tercatat (angka prevalensi) kurang dari 1 per 10.000 penduduk diperkirakan penyakit tersebut akan hilang secara alamiah. Masalah penyakit kusta ini diperberat dengan kompleksnya epidemiologi dan banyaknya penderita kusta yang mendapat pengobatan ketika sudah dalam keadaan cacat sebagai akibat masih adanya stigma dan kurangnya pemahaman tentang penyakit kusta dan akibatnya disebagian besar masyarakat Indonesia.2
Sebagai akibat keterlambatan pengobatan penderita adalah penularan terus berjalan sehingga kasus baru banyak bermunculan. Keadaan ini tentu akan menghambat pencapaian tujuan program pemberantasan penyakit kusta.2
Mengingat kondisi tersebut diperlukan adanya sistem pemberantasan secara terpadu dan menyeluruh yang meliputi penemuan penderita sedini mungkin, pengobatan penderita yang tepat, rehabilitasi medis, rehabilitasi sosoal dan rehabilitasi karya mantan penderita kusta.2
Dalam dekade terakhir ini telah banyak kemajuan yang dicapai di bidang kedokteran, termasuk dalam aspek diagnostik berbagai penyakit. Dalam bidang penyakit kusta telah ditemukan berbagai prosedur baru untuk menegakkan diagnosis maupun untuk mendeteksi Mycobacterium leprae sebagai kuman penyebab.3
Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya ialah Micobacterium leprae yang intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.4
Sinonim
Lepra, morbus Hansen, kusta, Hansen’s disease.4,5
Epidemiologi
Diperkirakan terdapat antara 10 hingga 15 juta orang di dunia menderita lepra. Penyakit ini endemik di banyak daerah di Asia, khususnya di sebagian india, sub-Sahara Afrika, Amerika selatan dan tengah, pulau-pulau di Pasifik dan Filipina. Meskipun 90 % kasus yang didiagnosis di USA adalah impor.5
Pada akhir tahun (Desember) 2000 di seluruh Indonesia terdaftar 17.539 kasus yang mendapat pengobatan MDT. Gambaran ini menurun menjadi 17.137 kasus pada Desember 2001, akan tetapi terjadi peningkatan pada tahun 2002 menjadi 19.100 kasus.2
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat di dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung Micobacterium leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas.. tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun kira-kira 13 %. Tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Sekarangada usaha mencatat penderita yang dibawah umur 1 tahun untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital.4
Frekuensi tertinggi adalah kelompok umur antara 25-35 tahun.4,6. Kebanyakan kasus terjadi di daerah tropis, negara-negara berkembang dan diduga bahwa infeksi lebih sering pada lingkungan dimana orang-orang dengan dengan status ekonomi rendah, sanitasi yang buruk, kekurangan gizi dan tingkat pendidikan yang rendah.5
Penyebab lepra adalah suatu mikobakterium tahan asam yaitu Micobacterium leprae (M. leprae) yang bersifat obligat intrasel. Ditemukan pada banyak tipe sel yang berbeda, paling sering dalam makrofag tetapi juga dalam sel schwan dari saraf, sel-sel otot, sel endotel pembuluh darah, melanosit di kulit dan kondrosit dari kartilago.7
Masa belah dari kuman kusta memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman yang lain, yaitu 12-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu sekitar 2-5 tahun. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multibasiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit.8
Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.8
Gambaran Klinis
Lesi dini yang paling sering adalah pada daerah yang mati rasa di kulit atau lesi kulit yang dapat dilihat. Lesi kulit yang paling sering memperlihatkan satu atau sedikit makula hipopigmentasi pada lepra indeterminate. Lesi tuberkuloid dini berupa makula atau plak yang hipopigmentasi dan sering kulit eritematosa serta biasanya anestetik.9
Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan tingkat kekebalan selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan:8
1. Tipe tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
2. Tipe borderline tuberculoid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. Tipe mid borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat mengkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
4. Tipe borderline lepromatous (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi.
5. Tipe lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anastesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedang di badan mengenai bagian badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai, madarosis, iritis dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking & glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan papula baru, sedangakan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe indeterminate (I). Lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi atau sedikit penebalan saraf. Pada 20-80% kasus pasien kusta didapatkan tipe ini yang merupakan tanda pertama. Sebagian besar akan sembuh spontan.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bakterioskopik4
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan Ziehl Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung M. leprae.
2. Pemeriksaan histopatologik3
Pemeriksaan histopatologik pada penyakit kusta biasanya dilakukan untuk memastikan gambaran klinik, misalnya kusta indeterminate atau penentuan klasifikasi kusta. Disini umumnya dilakukan pewarnaan Hematoxylin-Eosin (H.E) dan pengecatan tahan asam untuk mencari basil tahan asam (BTA).
3. Pemeriksaan serologik3
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Jenis antibodi yang terbentuk bermacam-macam, karena terdapat berbagai jenis antigen, misalnya antigen golongan lipopolisakarida yang berasal dari kapsul kuman, antigen protein yang berasal dari inti sel dan lain lain. Antibodi yang terbentuk bersifat spesifik dan non-spesifik.
a. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
Tekhnik ini dikembangkan oleh Izumi dkk. Dengan dasar reaksi antigen-antibodi yang akan menyebabkan pengendapan (aglutinasi) partikel yang terikat akibat reaksi tersebut. Karena mudah dilaksanakan dan cepat diketahui hasilnya (hanya diperlukan waktu sekitar 2 jam), tekhnik ini banyak dipakai untuk skrining mencari kasus kusta subklinik di daerah endemik kusta.
b. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)
Uji ini merupakan uji laboratorik yang memerlukan peralatan khusus serta keterampilan tinggi, sehingga dalam penyakit kusta hanya dilakukan untuk keperluan khusus, misalnya untuk penelitian atau kasus tertentu. Keuntungan uji ELISA ini ialah sangat sensitif, sehingga dapat mendeteksi antibodi dalam jumlah yang sangat sedikit.
Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen-antibodi yang terbentuk dengan memberi label pada ikatan tersebut. Bila uji ini digunakan untuk memantau hasil pengobatan penyakit kusta, penurunan antibodi spesifik bisa terlihat jelas dengan memeriksa serum penderita secara berkala setiap 3 bulan sekali.
c. ML dipstick
Pemeriksaan serologik dengan menggunakan Micobacterium leprae dipstick (ML dipstick) ditujukan untuk mendeteksi antibodi IgM yang spesifik terhadap M. leprae. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis terutama untuk kusta stadium awal, pemantauan hasil pengobatan dan deteksi adanya relaps serta membedakannya dengan reaksi reversal.
4. Pemeriksaan reaksi rantai polimerase (Polimerase chain reaction/PCR)
Prinsip PCR ini adalah menggandakan suatu potongan rantai DNA tertentu dari DNA kuman, sehingga jumlahnya berlipat ganda dan bisa dilihat sebagai pita protein pada medan elektroforesa. Pemeriksaan PCR pada penyakit kusta sangat berguna dalam mendeteksi adanya basil kusta di jaringan, apabila gejala klinis maupun histopatologis tidak menyokong diagnosis kusta. Pemeriksaan ini jauh lebih sensitif dari pengecatan Ziehl Neelsen maupun Wade Fite/ Fite Faraco untuk mendeteksi basil tahan asam (BTA).
Diagnosis diawali dengan suatu kecurigaan lepra yang ditimbulkan oleh adanya berbagai faktor risiko yang diketahui, diantaranya: lahir atau tinggal di daerah endemik, ada hubungan darah dengan penderita yang dapat mencerminkan transmisi atau paparan lingkungan dan terpapar armadillo di Amerika Utara.10
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda utama) yaitu:8
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Ganguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.8
Diagnosis Banding6
Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:
· Ada makula hipopigmentasi.
· Adadaerah anestesi.
· Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam.
· Ada pembengkakan/ pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya.
Tipe I (makula hipopigmentasi): tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea, dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik.
Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi): tinea korporis, psoriasis, lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea.
Tipe BT, BB, BL (infiltrat merah tak berbatas tegas): selulitis, erisipelas atau psoriasis.
Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematosus sistemik, dermatomikosis atau erupsi obat.
Terminologi reaksi digunakan untuk menggambarkan keadaan mengenai pelbagai gejala dan tanda radang akut lesi pasien kusta, yang dapat dianggap sebagai kelaziman pada perjalanan penyakit atau bagian komplikasi penyakit kusta. Seluruh komplikasi penyakit kusta yang dimaksud meliputi:11
· Komplikasi jaringan akibat invasi masif M. leprae
· Komplikasi akibat reaksi
· Komplikasi akibat imunitas yang menurun
· Komplikasi akibat kerusakan saraf
· Komplikasi disebabkan resisten terhadap obat antikusta.
Ada dua tipe reaksi menurut hipersensitivitas yang menyebabkannya:11
· Reaksi lepra tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas selular. Menurut Jopling reaksi lepra tipe 1 merupakan delayed hipersensitivity reaction seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV menurut Coombs dan Gell. Sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/ reversal apabila menuju kearah bentuk tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS), atau down grading apabila menuju kebentuk lepromatosa (terjadi penurunan SIS).
· Reaksi lepra tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral yang dikenal dengan nama eritema nodosum leprosum (ENL). ENL merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coombs dan Gell. Antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan antibodi membentuk kompleks Ag-Ab. Kompleks Ag-Ab ini akan mengaktivasi komplemen sehingga terjadi ENL. Jadi ENL merupakan reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom kompleks imun.
Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita dan mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih merupakan dua hal yang penting meskipun nantinya vaksin kusta yang efektif telah tersedia.12
Program MDT
Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang dikenal sebagai regimen MDT-WHO.12
Obat Dalam Rejimen MDT-WHO12
- Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson biasanya diberikan sebagai dosis tunggal, yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kgBB untuk anak-anak
- Rifampisin. Merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berkaitan secara irreversibel. Dosis tunggal 600 mg/hari.
- Klofazimin (Lamprene-CIBA GEIGY: B-663). Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Dosis untuk kusta adalah 50 mg/ hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/ kgBB/ hari.
Obat Kusta Baru
Dalam pelaksanaan program MDT-WHO ada beberapa masalah yang timbul, yaitu: adanya persisten, resistensi rifampisin dan lamanya pengobatan terutama untuk kusta MB. Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini. Diantara yang sudah terbukti efektif adalah:12
· Ofloksasin; merupakan obat turunan fluorokuinolon yang paling efektif terhadap M. leprae, kerjanya melalui hambatan terhadap enzim girase DNA mikobakterium. Satu rejimen terdiri atas ofloksasin 400 mg/hari diberikan bersama rifampisin 600 mg/hari selama 1 bulan, baik untuk kusta PB maupun MB dan rejimen lain untuk kusta MB terdiri atas kombinasi MDT-WHO ditambah ofloksasin 400 mg/hari selama 1 bulan pertama.
· Minosiklin; merupakan satu-satunya turunan tetrasiklin yang aktif terhadap M. leprae. Ia bekerja menghambat sintesis protein melalui mekanisme yang berbeda dengan obat antikusta lain. Uji klinis pada penderita kusta lepromatosa menunjukkan bahwa pemberian minosiklin 100 mg/ hari menunjukkan perbaikan klinis nyata setelah pemberian selama 2 bulan.
· Klaritromisin; dibandingkan obat lain golongan makrolid, klaritromisin mempunyai aktivitas bakterisidal setara dengan ofloksasin dan minosiklin pada mencit. Obat ini bekerja menghambat sintetis protein melalui mekanisme yang lain daripada minosiklin. Penderita kusta MB yang diobati dengan klaritromisin 500 mg perhari menunjukkan respons klinis dan bakterioskopis sama dengan pemberian ofloksasin atau minosiklin.
Dengan adanya obat-obat baru tersebut, telah ditetapkan rejimen baru yang disebut ROM yaitu kombinasi Rifampisin 600 mg, Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg. rejimen ini diberikan sekali dosis tunggal pada kusta pausibasiler lesi tunggal. Dsamping itu saat ini sedang dilakukan uji klinis penggunaan rejimen ROM sebulan sekali. Untuk kusta PB diberikan rejimen ROM 3 dan 6 dosis, sedang untuk kusta MB diberikan 12 dan 24 kali.12
Prognosis
Terdapat korelasi umum antara warna kulit dan tipe pada gambaran penyakit. Ras kulit yang lebih gelap bertendensi untuk berkembangnya penyakit yang lebih mengarah ke pola tuberkuloid, sedangkan kulit yang lebih terang cenderung pada tipe lepromatous.9
Masa puberitas dan kehamilan dihubungkan dengan downgrading, reaksi akut dan relaps. Duncan dkk. menemukan bahwa lepra meningkat aktifitasnya pada 46 dari 93 wanita di Ethiopia pada trimester ketiga kehamilan dan 12 dari 25 pasien tuberkuloid yang diterapi mengalami relaps. Dua dari 33 wanita sehat berkembang menjadi lepra selama kehamilan.9
PEMBAHASAN
Diagnosis Morbus Hansen atau penyakit kusta pada penderita ini berdasarkan anamnesis, pemeriksan fisik dan pemeriksaan penunjang
Dari anamnesis didapatkan adanya keluhan berupa bercak dan penebalan yang kemerahan diseluruh tubuh sejak 1 tahun yang lalu dengan perkembangan lambat dan tidak hilang timbul serta mati rasa. Pada pemeriksaan fisik status dermatologis ditemukan pada regio generalisata tampak papula eritematosa dan makula hipopigmentasi dengan ukuran bervariasi dimana pada pemeriksaan sensibilitas dengan tes rasa suhu, raba dan dingin ditemukan hipoestesi pada daerah lesi. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan pembesaran dan penebalan nervus auricularis magnus, nervus ulnaris dan nervus peroneus lateral. Pada pemeriksaan bakterioskopik didapatkan hasil BTA positif pada lesi aktif dan aurikula dekstra dan sinistra.Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda utama) yaitu:8
1. Bercak kulit yang mati rasa; bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri.
2. Adanya penebalan saraf tepi; dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Ganguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam; dari bahan pemeriksaan berupa hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Pada penderita ini didiagnosis dengan morbus Hansen tipe multi basiler karena didapatkan > 5 lesi dengan distribusi simetris dengan hilangnya sensasi yang kurang jelas dan mengenai banyak cabang saraf dengan BTA positif. Hal ini sesuai dengan klasifikasi dan modifikasi WHO untuk kepentingan program kusta.8
Terapi yang diberikan pada penderita ini berupa rifampisin 600 mg/ bulan, klofazimin 300 mg/ bulan dan 50 mg/ hari, DDS 100 mg/ hari selama 12 bulan. Hal ini sesuai dengan rejimen MDT-WHO yaitu:12
a. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson biasanya diberikan sebagai dosis tunggal, yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kgBB untuk anak-anak
b. Rifampisin. Merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berkaitan secara irreversibel. Dosis tunggal 600 mg/hari.
c. Klofazimin (Lamprene-CIBA GEIGY: B-663). Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Dosis untuk kusta adalah 50 mg/ hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/ kgBB/ hari.
Selain obat diatas diberikan pula vitamin B kompleks sebagai roboransia.
Anjuran yang diberikan pada penderita berupa pemakaian obat secara teratur, makan dengan gizi yang cukup untuk memperkuat sistem imunitas penderita, perawatan kaki dan tangan serta mencegah luka untuk menghindari kecacatan. Selain itu diharapkan penderita disiplin untuk melakukan kontrol setiap bulan di Poliklinik Kulit dan Kelamin atau puskesmas terdekat untuk menilai perkembangan penyakitnya.
Prognosis pada penderita ini adalah baik karena keadaan umum baik dan belum ada komplikasi serta kecacatan akibat penyakit kusta ini. Dan diharapkan dengan penanganan yang teratur dapat memberikan hasil yang maksimal sesuai yang diharapkan.
1. Buthani IK. Spectral concept of leprosy.
2. Rachmat H. Program pemberantasan penyakit kusta di Indonesia.
3. Agusni I, Menaldi SL. Beberapa prosedur diagnostik baru pada penderita kusta. 2003: 59-65
4. Kosasih A, Wisnu IM, Daili ESS, Menaldi SL. 2009: 71-85.
5. Odom RB, James WB, Berger TG. Andrew's diseases of the skin. WB Saunders Company; 2000.
6. Siregar RS. Saripati penyakit kulit. Edisi II. Jakarta: EGC, 2005
7. Jopling WH, McDougall AC. Handbook of leprosy.s, 2005
8. Amirudin MD, Hakim Z, Darwis E. Diagnosis penyakit kusta. UI, 2003:12-31
9. Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical leprosy.
10. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. \7
11. Martodihardjo S, Susanto RSD. , 2003: 75-82
12. Soebono H, Suharyanto B. Pengobatan penyakit kusta. , 2003: 66-74
Undergoing MyBlogLog Verification
Non, makasih buat pemahaman ttg penyakit ini
BalasHapushalo 98-175 :D
BalasHapusdi sini 98-177 ;)
mudah2an masih diingat
btw, trims buat upload datannya
gambatte ^^v
Good info
BalasHapus