Autis merupakan suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan saraf. Penyakit ini mengganggu perkembangan anak. Diagnosisnya diketahui dari gejala-gejala yang tampak, ditunjukkan dengan adanya penyimpangan perkembangan.
Untuk mendiagnosis gangguan autis tidak memerlukan pemeriksaan yang canggih, seperti brain mapping, CT-scan, dan MRI. Pemeriksaan-pemeriksaan itu hanya dilakukan jika ada indikasi tambahan, misalnya anak sering kejang, baru dilakukan brain mapping atau EEG untuk melihat apakah mengidap epilepsi.
Autis bukanlah masalah baru, karena sudah ada sejak zaman dahulu. Kalau kita membaca cerita-cerita lama, kita mungkin pernah membaca tentang anak yang dianggap “aneh” karena sejak lahir sudah menunjukkan gejala-gejala tidak normal. Ia meronta jika digendong, selalu menangis di malam hari, dan banyak tidur di siang hari. Ia bicara sendiri dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang-orang di sekitarnya. Kalau marah ia menjadi agresif, menyerang, mencakar, menjambak, menggigit, atau menyakiti diri sendiri. Ia tertawa sendiri seolah-olah ada yang mengajaknya bercanda. Maka para orang tua di Barat mengatakan bahwa anak ini “anak tertukar” (a changeling) dengan anak peri jahat dan karena tidak bisa menyesuaikan diri dalam kehidupan manusia, jadilah dia anak yang aneh. Kalau dipikir dengan baik maka anak yang dianggap tertukar ini bisa jadi anak autistik yang telah menunjukkan gejala autis sejak lahir.
DIAGNOSIS AUTIS
World Health Organization (WHO) telah merumuskan kriteria diagnosis autis. Rumusan ini dipakai di seluruh dunia, yang dikenal dengan ICD-10 (International Classification of Disease) 1993.
Rumusan diagnosis lainnya yang dapat dipakai menjadi panduan adalah DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994, yang dibuat oleh grup psikiatri Amerika Serikat. Isi ICD-10 maupun DSM-IV sebenarnya sama.
Kriteria Autis Masa Kanak
Jika orang tua sudah mengetahui kriteria anak autis sejak dini maka gejala autis dapat dengan mudah dideteksi.
Berikut ini kriteria autis masa kanak-kanak:
1. Harus ada minimum dua gejala dari (a), dan masing-masing satu gejala dari (b) dan (c).
a. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal-balik
Ø Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang memadai, seperti kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, dan gerak-geriknya kurang tertuju.
Ø Tidak dapat bermain dengan teman sebaya.
Ø Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Ø Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
b. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi
Ø Bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang (tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain selain berbicara).
Ø Jika bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi.
Ø Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.
Ø Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru.
c. Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan.
Ø Mempertahankan satu permintaan atau lebih, dengan cara yang khas dan berlebihan.
Ø Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya.
Ø Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang.
Ø Seringkali sangat terpukau pada benda.
2. Adanya keterlambatan atau gangguan dalam interaksi sosial, bicara dan berbahasa, dan cara bermain yang kurang variatif sebelum umur tiga tahun.
3. Tidak disebabkan oleh sindrom rett atau gangguan disintegratif masa kanak-kanak.
Dengan mempelajari kriteria diagnostik DSM-IV, orang tua bisa mendiagnosis sendiri, apakah anaknya autis atau tidak.
Seorang ibu yang berpengalaman dan cermat tentu bisa melihat perubahan pada anaknya jika sesuatu terjadi, seperti jika bayinya menolak kontak mata, lebih senang main sendiri, tidak responsif terhadap suara, dan bicaranya tidak berkembang normal.
Kadang-kadang anak autis pun dapat berkembang normal. Namun, pada usia tertentu terjadi gangguan perkembangan dan akhirnya mengalami kemunduran. Jika kondisi ini terjadi, orang tua harus mencurigainya dan waspada. Segera konsultasikan dengan ahlinya untuk menghindari kesalahan diagnosis.
Memang, terkadang kesalahan diagnosis masih terjadi. Hal ini disebabkan seringnya gangguan atau penyakit lain yang menyertai autis, misalnya hiperaktivitas, epilepsi, retardasi mental, dan sindroma Down. Seringkali perhatian perhatian tertuju pada gangguan penyerta sehingga gangguan autis sendiri luput terdiagnosis. Tentu, hal ini merugikan karena terapi atau penatalaksanaan akhirnya hanya tertuju pada gangguan penyerta.
TERAPI AUTIS
Terapi autis harus terpadu.
Gangguan di otak tidak dapat disembuhkan. It isn’t curable but treatable (tidak dapat disembuhkan, tapi dapat ditanggulangi), dengan terapi dini, terpadu, dan intensif. Gejala-gejala autis dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sehingga anak dapat bergaul secara normal, tumbuh sebagai orang dewasa yang sehat, berkarya, bahkan membina keluarga. Hal ini dikarenakan intervensi dini membuat sel-sel otak baru tumbuh, menutup sel-sel lama yang rusak.
Jika anak autis tidak atau terlambat mendapat intervensi hingga dewasa maka gejala autis bisa menjadi semakin parah, bahkan tidak tertanggulangi. Melalui beberapa terapi, anak autis akan mengalami kemajuan seperti anak normal lainnya. Keberhasilan terapi tergantung beberapa faktor berikut ini:
Ø Berat ringannya gejala, tergantung pada berat-ringannya gangguan dalam sel otak.
Ø Makin muda umur anak saat terapi dimulai, semakin besar kemungkinan berhasil. Umur ideal adalah 2-5 tahun, saat sel otak masih bisa dirangsang untuk membentuk cabang-cabang neuron baru.
Ø Makin cerdas anak makin cepat menangkap hal-hal yang diajarkan.
Ø Kemampuan bicara dan berbahasa, tidak semua penyandang autis berhasil mengembangkan fungsi bicara dan berbahasa. Dua puluh persen penyandang autis tidak mampu berbicara seumur hidup, sedangkan sisanya ada yang bisa berbicara tetapi sulit dan kaku, ada pula yang bisa bicara lancar. Tentu saja, mereka yang fungsi bicaranya dan berbahasanya baik akan lebih mudah diajar berkomunikasi. Anak autis yang tidak bisa bicara (non verbal) bisa diajarkan keterampilan komunikasi cara lain, yaitu dengan mesin tik, gambar-gambar (PEC, COMPIC), atau bahasa isyarat.
Ø Intensitas terapi yaitu terapi harus dilakukan sangat intensif. Sebaiknya terapi formal dilakukan 4-8 jam sehari. Di samping itu, seluruh keluarga pun harus ikut terlibat melakukan komunikasi dengan anak, sejak anak bangun pagi hingga tidur si malam hari.
Berbagai jenis terapi bagi anak autis, antara lain terapi perilaku (behavior therapy), terapi okupasi, terapi wicara (speech therapy), terapi biomedis, terapi medikamentosa, dan pendidikan khusus. Sebaiknya, sebelum terapi setiap anak mendapat evaluasi lengkap dari dokter dan terapis, dengan kurikulum individual berdasarkan kebutuhan dan kemampuan anak dalam setiap bidangnya. Berikut ini beberapa terapi bagi anak autis:
1. Terapi medikamentosa
Terapi ini dilakukan dengan obat-obatan yang bertujuan memperbaiki komunikasi, memperbaiki respon terhadap lingkungan, dan menghilangkan perilaku aneh serta diulang-ulang. Dalam kasus ini gangguan terjadi di otak sehingga obat-obatan yang dipakai adalah yang bekerja di otak.
2. Terapi biomedis
Terapi ini bertujuan memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi ini dilakukan berdasarkan banyaknya gangguan fungsi tubuh, seperti gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh rentan, dan keracunan logam berat. Berbagai gangguan fungsi tubuh ini akhirnya mempengaruhi fungsi otak.
3. Terapi wicara
Umumnya, terapi ini menjadi keharusan bagi anak autis karena mereka mengalami keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa.
4. Terapi perilaku
Terapi ini bertujuan agar anak autis dapat mengurang perilaku tidak wajar dan menggantinya dengan perilaku yang bisa diterima di masyarakat.
5. Terapi okupasi
Terapi ini bertujuan membantu anak autis yang mempunyai perkembangan motorik kurang baik, antara lain gerak-geriknya kasar dan kurang luwes. Terapi okupasi akan menguatkan, memperbaiki koordinasi, dan keterampilan otot halus anak.
Selain itu anak autis juga membutuhkan pendidikan khusus yaitu pendidikan intelektual terstruktur yang diterapkan dengan sistem satu guru-satu anak. Sistem ini paling efektif karena tidak mungkin anak autis memusatkan perhatian dalam satu kelas besar.
PERAN ORANG TUA BAGI ANAK AUTIS
Banyak hal yang bisa dan harus dilakukan orang tua anak autis. Pertama, memastikan diagnosis, sekaligus mengetahui ada tidaknya gangguan lain pada anak untuk ikut diobati. Pilihlah dokter yang kompeten. Umumnya, adalah dokter anak yang menangani autis, dokter saraf anak, dan dokter rehabilitasi medik.
Idealnya, orang tua harus membina komunikasi dengan dokter. Hal ini dikarenakan kerjasama orang tua dengan dokter, keterbukaan orang tua tentang tentang kondisi anak, dan kesediaan mengikuti aneka pengobatan atau treatment yang disarankan akan mempengaruhi kemajuan anaknya dan merupakan sarat mutlak.
Komunikasi yang baik antara dokter dengan orang tua terlihat dari kemampuan orang tua memperoleh informasi mengenai kondisi anak. Jadi, pada saat berobat bukan hanya datang, anak diperiksa, diberi resep obat, lalu pulang. Jika itu yang terjadi, maka waktu dan biaya yang dikeluarkan akan sia-sia.
Carilah dokter lain yang dapat memahami penyakit anak jika orang tua menganggap dokter kurang kooperatif atau tidak memberikan konsultasi memadai. Jangan fanatik pada satu dokter karena tidak selamanya seorang dokter benar secara mutlak. Jika kondisi ini terjadi, bukan tidak mungkin orang tua akan buta pada apa yang terjadi pada anaknya.
Hal yang tidak kalah penting adalah jangan bohongi dokter saat konsultasi, misalnya menutup-nutupi salah satu gejala yang dialami anak. Kejujuran orangtua dalam menceritakan kondisi keseharian anak akan sangat membantu dokter mengevaluasi kondisi anak yang dapat mempengaruhi kemajuan anak.
Orang tua juga harus memperkaya pengetahuannya mengenai autis, terutama pengetahuan mengenai terapi yang tepat dan sesuai dengan anak. Hal ini sangat penting karena fasilitas terapi di Indonesia masih sangat terbatas dan ahlinya pun masih langka. Selain itu, orang tua juga perlu menguasai terapi karena selalu bersama anak, sedangkan pengajar atau terapis hanya sesaat dan saling bergantian. Berdasarkan pengalaman beberapa ahli autis di Jakarta, orang tua yang ikut melaksanakan terapi secara intensif terhadap anaknya, akan memperoleh hasil memuaskan, anak menunjukkan kemajuan sangat pesat. Sebelum terapi dimulai, perlu diinformasikan bahwa orang tua juga terlibat dan tidak ada terapi yang dilakukan tanpa persetujuan orang tua. Untuk mengoptimalkan terapi, perlu adanya kerjasama orang tua dan pertemuan berkala antara orang tua dengan terapis untuk mengevaluasi program aupun terapi itu sendiri.
Hal yang juga sangat membantu orang tua adalah bertemu dan berbicara dengan sesama orang tua autis. Usahakan bergabung dalam parents support group. Selain untuk berbagi rasa, juga untuk berbagi pengalaman, informasi, dan pengetahuan.
Selain orang tua juga harus bertindak selaku manager saat terapi dilakukan, misalnya mempersiapkan kamar khusus, mencari dan mewawancarai terapis, mengatur jadwal, melakukan evaluasi bersama tim, juga mampu memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan, terapisan, dan pengobatan anak.
Terapis harus mempunyai perilaku profesional termasuk mematuhi jam kerja dan menginformasikan jika mereka akan datang terlambat atau tidak datang.
Lingkungan rumah tangga juga dapat menjadi suatu lingkungan terapi yang ideal bagi anak autis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bonny Danuatmaja: Terapi Anak Autis di Rumah. Puspa Swara, 2003.
2. Melly Budiman, dkk: Langkah Awal Menanggulangi Autis, Nirmala, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
do not leave before say anything, please