Hari sudah gelap di luar sana. Gerimis yang baru usai dan serbuan nyamuk mewarnai awal dinas malam kali ini.
Jam 23.03 WIT
Aku duduk di depan meja kerja dokter sambil membaca-baca kembali status pasien-pasienku dan mencocokkan kode diagnosa ICD 10 untuk kemudian di-input oleh staf rekam medik rumah sakit. Pasien hari ini kebanyakan datang dengan keluhan gangguan pernafasan atas dan sebagian lagi dengan malaria, baik malaria tertiana maupun malaria tropika yang merupakan penyakit lazim di tempat tugasku sekarang.
Aku berharap saat dinas kali ini tidak ada pasien yang datang dengan pasien yang aneh-aneh. Aku sedang merasa capek hati, banyak yang kupikirkan akhir-akhir ini ditambah dengan insomnia beberapa malam belakangan yang lumayan melelahkan.
Ingin rasanya minum teh manis yang hangat utuk menghilangkan stress ini...
Ketika ku angkat kepalaku dan menatap ke pintu IGD yang terbuka 24jam itu dengan setengah melamun, bayangan seorang ibu dan anaknya muncul di depan
pintu.
pintu.
Wajah mereka lusuh, si ibu terlihat kurus memegang tangan anaknya yang kira-kira berumur 9 atau 10 tahun dan setengah menyeret si anak yang juga kelihatan kurus dengan mata yang sayu ke arahku.
"Selamat malam, ibu Dok" katanya malu-malu sambil menyeka air yang membasahi rambut dan dahinya. sepertinya mereka datang tanpa payung. Sebelum duduk kepala anaknya diseka juga dengan bagian bawah kaosnya yang sudah melar dan tampak dekil.
"Selamat malam, mama." Sapaan itu artinya 'tante'
"Mau berobat?" tanyaku. Pandanganku langsung meneliti lebih detail dua sosok kurus dan lusuh di depanku. Tak beralas kaki pula.
Si ibu mengangguk.
"Silahkan duduk dulu. Siapa yang sakit kah dan ada sakit apakah?" aku mengajukan pertanyaan standart untuk memulai anamnesa pasienku.
"Anak kecil, ibu Dok. Anak ni sakit poro dan sakit kepala. Ibu Dok boleh tolong kah"
Aku mengalihkan perhatian kepada sang anak. Sudah cukup besar, sepertinya sudah bisa menjelaskan gejala apa yang dialaminya. Kupikir tak perlu melakukan aloanamnesa.
"Ade, ko sakit perut kah?"
Anak itu menghela ingus dan kemudian menatap ibunya.
"Ah... ko su besar too.. Apa ko rasa sakit bilang saya boleh, tra usah tanya ko pu mama lagi... Ko ada sakit perut kah?" tanyaku lagi dengan berusaha memakai logat masyarakat lokal yang sebenarnya struktur kalimatnya lumayan aneh.
Anak itu mengangguk.
"Ada buang-buang air juga kah?" Maksudku mencret.
Anak itu menatap ibunya lagi dan kemudian menggelengkan kepala pertanda tidak mencret selama sakit perut.
"Saki poro dan saki kepala. Sakit di sini" suaranya kecil, antara malu-malu dan lemas sambil meletakkan ujung jari-jari tangan kanannya du ulu hati.
"Ade, su brapa lama sakit perut?"
Kali ini ibunya yang bersuara, "Satu hari ini saja, ibu Dok"..
"Suster, tolong timbang dan kas tidur di tempat periksa ka." pintahku kepada salah satunperwat yang mendampingiku dinas malam.
Sambil si anak di ukur timbang untuk menentukan status gizinya, aku mengambil data-data seperlunya dari si ibu untuk kutuliskan di blanko pasien rawat jalan.
"Mama, anak ada makan apa tadi kah? Kenapa perut bisa sakit? Apa ada jajan sembarang atau ada minum air mentah kotor lagi?"
"Ibu Dok, mama ni tra tahu anak kecil makan apa. Mama satu hari kas tinggal dia di rumah saja, mama ke kebun di hutan, cabut kasbi (singkong) dan ada pergi tangkap karaka (sejenis kepiting besar). Mama baru pulang dapat anak kecil menangis sakit poro.." Jelasnya dengan sedikit nada rasa bersalah.
Setelah anaknya kuperiksa kesimpulanku anaknya sakit maag. Tidak ada tanda-tanda penyakit lain kecuali hiperasiditas lambung yang sepertinya tidak diisi hari ini.
"Mama ini obatnya pergi ambil di apotek rumah sakit dan kas minum sekarang sudah biar anak pu perut tra sakit lagi. Setelah itu kasih makan bubur, jangan dulu makanan yang keras, asam, pedas dan berminyak, yaaa." Kataku sambil menyerahkan resep obat.
Si ibu mengambil kertas resepku perlahan kemudian ditatapya beberapa detik dan dengan sedikit keraguan dia memberanikan diri bertanya:
"Ibu Dok,.." Suaranya pelan.
"Ya. Bagaimana, mama? Ada yang ingin ditanyakan lagikah?"
"Ibu Dok kasih mama obat sakit poro boleh.." Wajah lusuh itu menatap penuh harap.
"Ohh.. Mama juga sakit kah? Ahh... Jangan-jangan mama yang kas jangkit anak kecil ini ka?" Aku sedikit menggodanya.
"Ahh.. Trada, bu Dok." dia diam sejenak, sekilas menunduk dan berkata lagi..
"Mama juga dari pagi belum makan, poro saki jadi... Kas mama obat sudah kah, ibu Dok... Mama tra bisa tidur sampee.."
Ehhhh??
"Mama, jadi ko tra makan dari pagi ka?!!" Terkejut aku mendengarnya..
"Itu sudah, ibu Dok. Mama pagi-pagi pergi ke kebun di hutan ambil kasbi dan tangkap karaka. Hutan paling jauh jadi.. Anak kecil mama kas tinggal di rumah saja, dia pu kakak jaga tapi tra kas makan..." dia menunduk, suaranya agak mengecil...
Yah TUHAN ternyata mereka sepanjang hari kelaparan dan datang ke Igd hanya untuk minta obat untuk meringankan perasaan lapar...
Pasienku malam ini membuatku tertegun....
Kasian banget yang dibutuhkan makan baru obat, perjuangan seorang ibu yang hebat!
BalasHapusInspiratif. aku menyukainya dan jujur, aku merindukan blog ini sekian lama. apa kabar?
BalasHapusduhhhh, hikss....segitunya yaa :(
BalasHapusbener2 sebuah cerita yg penuh hikmah
astaga.. *speachless* :((((( sampe segitunya yah kak
BalasHapusWAH kak, lama nggak update yah
BalasHapus